Tragedi penembakan massal kembali terjadi di Amerika Serikat, kali ini di Lewiston, Maine. Pelaku yang diduga bernama Robert Card, seorang tentara cadangan, menembak membabi buta. Sejauh ini 22 orang tewas dan sekitar 50 sampai 60 lagi terluka.
Pelaku yang saat ini masih diburu, diduga memakai senapan jenis AR-15, salah satu senjata api yang disukai warga AS. Dikutip detikINET dari Daily Mail, harganya cukup murah dan mudah menembakkan pelurunya. Senjata mematikan ini tak jarang disalahgunakan oleh penembak massal di Negeri Paman Sam.
Berbasis desain senapan militer M16, AR-17 adalah varian untuk warga sipil. Senjata ini dikenal akurat, cepat, dan membawa magasin yang dapat dilepas dengan banyak peluru. Desainnya memungkinkan penembakan cepat, fitur yang sayangnya menjadikannya senjata pilihan dalam penembakan massal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama bertahun-tahun, AR-15 telah menjadi simbol perdebatan sengit mengenai pengendalian senjata di Amerika Serikat. Peristiwa tragis di Maine ini sekali lagi menunjukkan betapa mudahnya senjata api mematikan di AS, digunakan untuk melakukan tindakan kekerasan yang mengerikan.
Terlebih lagi, senjata ini termasuk mudah dibeli. Menurut analisis The Washington Post, sebelum awal tahun 2023, sepuluh dari 17 penembakan massal paling mematikan di AS sejak tahun 2012 melibatkan AR-15.
Pembunuh yang menghujani peluru di konser Las Vegas menggunakan senapan tersebut pada tahun 2017, begitu pula penembak di Sekolah Dasar Sandy Hook pada tahun 2012.
Pelaku penembakan di Sekolah Dasar Robb, Salvador Ramos yang berusia 18 tahun, juga dipersenjatai AR-15. Tiga penembakan itu saja menyebabkan lebih dari 100 orang tewas.
Namun, bagi para penggemar senjata yang diberi nama 'America's Rifle', hal ini bukanlah alasan yang cukup untuk langsung melarangnya. National Shooting Sports Foundation, sebuah kelompok perdagangan industri senjata api, menyebut AR-15 hanya sebagai 'senapan olahraga'.
Kelompok tersebut menekankan bahwa ini adalah senjata semi otomatis yang hanya menembakkan satu peluru pada setiap tarikan pelatuknya, dibandingkan dengan senjata otomatis yang terus menerus menembakkan peluru.
Seorang pria berpengalaman yang dipersenjatai dengan AR-15 dapat menembakkan 45 hingga 100 peluru per menit. Disesuaikan dengan magasin amunisi berkapasitas besar, AR-15 dapat mengeluarkan lebih dari 100 amunisi sebelum berhenti sejenak dan mengisi ulang.
Tetapi dalam pembantaian di Las Vegas, Stephen Paddock memodifikasi AR-15 miliknya dengan perangkat 'bump stock' yang membuatnya menembak dengan kecepatan seperti senapan mesin. Pembunuh berusia 64 tahun itu menembakkan setidaknya 90 peluru hanya dalam 10 detik.
Setelah pembantaian tersebut, pemerintahan Trump melarang 'bump stock', namun peraturan federal tersebut dibatalkan oleh pengadilan, sebuah keputusan yang diajukan banding oleh Pemerintahan Biden.
(fyk/fay)