Pemerataan Internet dan Urgensi Literasi Sebagai Fondasi Indonesia Digital

Fino Yurio Kristo - detikInet
Sabtu, 21 Okt 2023 15:40 WIB
Foto: Getty Images/iStockphoto/PeopleImages
Jakarta -

Bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah berusaha agar sinyal telepon seluler dan tentu saja internet merata ke seluruh Indonesia, memang tidak terbantahkan. Internet yang sampai di desa-desa terpencil atau wilayah pedalaman, membuat warga mudah berkomunikasi, bertambah ilmu, dan harapannya juga merangsang pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan lancarnya transaksi via toko online.

Tentu saja tidak sebatas itu, sinyal yang mulai melimpah memiliki banyak manfaat lain, termasuk untuk menggalakkan minat membaca buku yang menurut berbagai data, masih kurang tinggi di negara ini. Padahal membaca bisa menjadi fondasi penting dalam mewujudkan Indonesia digital yang sejahtera.

Pertama-tama, patut diakui bahwa pembangunan infrastruktur digital di Indonesia cukup masif. Salah satu program pemerataan internet dari Kominfo adalah Proyek BTS 4G yang dikelola Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), untuk penyediaan akses internet di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Program ini meliputi pembangunan BTS, penyediaan jaringan serat optik Palapa Ring, penyediaan HBS (hot backup satellite), dan pengoperasian satelit Satria-1.

Sebanyak 7.904 desa dan kelurahan ditargetkan kebagian BTS 4G dalam proyek infrastruktur telekomunikasi yang dikerjakan Bakti Kominfo itu. Dalam perjalanannya, ribuan BTS 4G sudah berhasil dibangun sebelum tersandung kasus korupsi. Akan tetapi untungnya, Menkominfo Budi Arie Setiadi langsung membentuk Satgas BTS 4G agar proyek itu tetap berjalan lancar, dengan target pembangunan sekitar 5.000 BTS 4G dapat diselesaikan pada akhir 2023 ini.

Terobosan lain adalah peluncuran satelit internet pertama Indonesia, yaitu Satria 1 oleh roket SpaceX, yang berlangsung pertengahan tahun 2023 ini di Cape Canaveral, Florida. Satelit ini juga berfungsi untuk memeratakan akses internet di area 3T. Dengan kapasitas 150 Gbps, satelit Satria-1 akan menghadirkan sinyal internet di 150 ribu titik. Satelit multifungsi berteknologi Very High Throughput Satellite (VHTS) ini pun disebut satelit dengan kapasitas terbesar di Asia.

Usaha-usaha besar Kominfo itu, bekerjasama dengan berbagai pihak seperti operator seluler, hasilnya sudah terlihat. Dalam liputan detikINET di Desa Aweora, Nusa Tenggara Timur misalnya, masyarakat di sana sangat bersyukur bahwa akhirnya ada BTS 4G didirikan. Nihil sinyal di daerahnya sempat membuat penduduk desa Aewora harus berjuang untuk mendapatkan layanan telekomunikasi. Malah sampai ada istilah pohon sinyal dan batu sinyal.

Ya, meski sinyal belum masuk, warga Aewora sudah cukup banyak yang punya smartphone, kira-kira satu rumah memiliki satu ponsel. Untuk berkomunikasi, mereka harus mencari koneksi yang hanya ada di titik tertentu, termasuk di bebatuan atau pepohonan.

"Pohon sinyal itu kalau lewat situ hape bunyi. Jadi di titik tertentu berhenti kalau dapat sinyal. Bisa jalan sampai 2 kilometer dulu baru ada sinyal," ujar Anton David Dalla, sesepuh di desa tersebut.

Hal senada diakui Safira, seorang pelajar di sana. Ia harus jauh mencari sinyal untuk menikmati berbagai aplikasi di smartphone-nya. "Kalau dapat sinyal 2 kilometer dari sini baru bisa Facebook atau WA. Tapi kalau sudah di sini tak ada sinyal, paling buat main game ponselnya," tutur dia. Pendirian BTS 4G pada tahun 2019 akhirnya membuat warga Aewora merdeka sinyal, memudahkan mereka berkomunikasi dan mendulang manfaat lain dari dunia maya.

Dalam peta jalan Indonesia Digital, salah satu arah strategis yang ingin dicapai adalah membangun budaya digital dan memanfaatkan bonus demografi serta memberdayakan rakyat Indonesia dalam mengembangkan dunia digital. Dengan pemerataan akses internet, pelajar seperti Safira bisa bertambah luas pengetahuannya, bertambah keterampilannya, mendapat hiburan, dan lain sebagainya. Akan tetapi bisa lebih bermanfaat lagi kalau sinyal yang mulai melimpah itu juga dimanfaatkan untuk menumbuhkan minat baca pada pelajar seperti dirinya. Mengapa demikian?

Peta jalan Indonesia digital harus dimulai dengan kemampuan sumber daya manusia yang siap dan andal. Apalagi Indonesia akan menghadapi era bonus demografi beberapa tahun ke depan, diperkirakan pada tahun 2030 hingga 2040 mendatang. Dalam hal ini, salah satu permasalahan pelik yang mungkin tidak dibahas sebanyak yang seharusnya dan tidak dicarikan solusi yang benar-benar mujarab, adalah minat baca warga Indonesia yang menurut beberapa studi masih rendah.

Menurut laporan Kominfo, UNESCO menyebutkan Indonesia berada di urutan kedua dari bawah soal literasi. Menurut mereka, minat baca masyarakat Indonesia memprihatinkan, hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.

Riset lain bertajuk World's Most Literate Nations Rankedyang digelar Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia disebut menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung orang membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

Dalam keseharian, rendahnya minat baca cukup jelas terlihat. Toko buku tak sedikit yang tumbang dan yang masih ada pun, cenderung semakin sepi. Peluncuran sebuah buku oleh penulis paling terkenal sekalipun, jarang menjadi bahasan luas di masyarakat, tidak sering didiskusikan di media massa atau angkringan, apalagi jika bukunya ditulis oleh pengarang yang belum punya nama. Bahasan-bahasan mengenai sastra juga terkesan masih elitis, tidak menjadi diskursus yang menarik minat banyak orang.

Padahal bukan rahasia lagi bahwa minat baca jika dipupuk secara dini dan berkesinambungan, baik buku fiksi maupun non fiksi, kemungkinan akan menghasilkan anak-anak muda yang berpengetahuan, kritis, fokus, penuh imajinasi, dan tidak sembarangan dalam menghadapi kemajuan teknologi, dibandingkan sebaliknya.

Minat baca yang tinggi juga akan mendukung literasi digital yang belakangan ini banyak didengung-dengungkan Kominfo. Kebiasaan membaca buku, terutama yang bermutu, diharapkan membuat masyarakat tidak menelan begitu saja informasi yang berseliweran di media sosial, melainkan hati-hati menelaah setiap kabar dengan membaca sumber yang terpercaya.

Kegemaran membaca yang menambah pengetahuan, mungkin juga membuat diskusi atau argumen yang dikemukakan di media sosial lebih berilmu dan beretika, tidak sekadar debat kusir yang tidak ada juntrungannya atau saling mencaci maki. Mengenai hal ini, kadang warganet hanya membaca berita sepotong-sepotong atau bahkan hanya judulnya, kemudian langsung membuat kesimpulan dan berkomentar. Tidak mengherankan jika ujaran kebencian, hujatan, komentar ngawur, bahkan salah sasaran tak jarang terjadi. Bahkan Microsoft dalam risetnya di tahun 2021 pernah menyebut warga Indonesia paling tidak sopan di media sosial untuk kawasan Asia Tenggara.

Terlebih pada saat ini kita berada bukan hanya di era media sosial karena zaman kecerdasan buatan atau AI pun sudah tiba. Meski banyak manfaatnya, AI juga menghadirkan ancaman yang tidak bisa diremehkan. Salah satu yang paling terlihat misalnya, AI mampu meniru suara manusia, bahkan juga foto dan videonya. AI juga merupakan pengarang cerita andal. Jika hal-hal semacam itu ditelan begitu saja oleh masyarakat, persoalan disinformasi dan bahkan mungkin berujung pada perpecahan akan semakin besar. Untuk mengantisipasinya, kebiasaan gemar membaca untuk berpikir kritis dan seksama lagi-lagi merupakan salah satu bekal yang berguna.

Di sisi lain, bukan kebetulan jika sosok-sosok paling berpengaruh di jagat teknologi, para pengusaha teknologi, adalah kutu buku kelas berat. Dari Mark Zuckerberg, Bill Gates, Elon Musk, Jack Ma, sampai Jeff Bezos sejak muda tenggelam dalam buku-buku bacaan. Barangkali karena itu pula, mereka terpantik mendirikan perusahaan-perusahaan teknologi yang sukses luar biasa.

Bill Gates sampai hari ini keranjingan membaca dan rutin memberi rekomendasi bacaan yang bermutu. Mark Zuckerberg punya kebiasaan membaca satu buku setiap dua minggu. Elon Musk mengaku kutu buku sejak kecil dan buku-buku yang dibacanya itu, telah memberikan gagasan besar tentang apa yang ingin diraihnya di masa depan. Dalam wawancara tahun 2013 dengan Guardian, ia mengatakan bahwa misi SpaceX ke Mars dipengaruhi oleh buku 'Foundation' karya Isaac Asimov yang dibacanya saat muda.

Di dalam negeri, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim pun suka membaca, terkadang ia membagikan rekomendasi buku bacaan di akun Instagram-nya. Mungkin kebiasaan itu pula yang sedikit banyak memberi inspirasi baginya untuk mendirikan Gojek yang kemudian menjelma menjadi perusahaan teknologi Indonesia yang terkemuka. Pendiri Tokopedia, William Tanuwijaya, pernah menyatakan kesukaannya membaca dalam sebuah wawancara dengan Kompas, di mana saat kecil dia mengeluh karena di Pematang Siantar tidak ada toko buku untuk mewadahi hobinya itu.

Aktif membaca buku telah dibuktikan secara sains merupakan asupan penting untuk otak, memicu kreativitas, berpikir kritis dan berkomunikasi dengan baik. Semua itu merupakan modal berharga dalam menghasilkan gagasan, dalam hal ini harapannya adalah gagasan untuk menciptakan produk atau perusahaan teknologi atau setidak-tidaknya, membuat orang Indonesia lebih bijaksana di dunia maya.

Tentu saja masih banyak faktor lain yang menentukan apakah seseorang bisa menjadi pengusaha sukses, tetapi kebiasaan membaca buku merupakan fondasi penting. Bayangkan jika banyak anak muda Indonesia gandrung membaca buku-buku bermutu, mungkin di masa depan akan ada jauh lebih banyak pengusaha teknologi kelas dunia yang lahir di sini dan akan sangat membantu ambisi menuju Indonesia digital. Mungkin akan lahir di Indonesia sosok-sosok seperti Bill Gates, Elon Musk, atau penerus Nadiem Makarim, Ahmad Zaky, sampai William Tanuwijaya.

Hal ini menjadi krusial karena Menurut Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) kepada CNBC, jumlah pengusaha Indonesia masih 3,4 persen dari jumlah penduduk. Padahal idealnya untuk menjadi negara maju, jumlah pengusaha sebaiknya di kisaran 12 hingga 14 persen.

Memang tidak mudah menumbuhkan minat baca, meskipun fasilitas bisa dikatakan sudah kian berkembang. Perpustakaan-perpustakaan bagus dan nyaman sebenarnya sudah cukup banyak tersedia, bahkan di daerah-daerah. Memang masih ada wilayah-wilayah yang belum terjangkau, tetapi permasalahannya di sisi lain adalah, terkadang perpustakaan yang bagus pun bukan jaminan ramai berbondong-bondong orang mengunjungi dan meminjam buku di sana.

Maka ini adalah tugas besar bagi pemerintah dan pihak-pihak berwewenang. Nah, dengan semakin meluasnya sinyal sampai pelosok daerah berkat proyek Kominfo, buku digital dapat semakin digalakkan. Jadi, anak-anak muda di daerah-daerah terpencil bisa langsung membaca di perangkatnya. Kominfo misalnya, dapat semakin memperluas platform ebook gratis di mana koleksi pustakanya bisa dijangkau oleh masyarakat di seluruh pelosok Indonesia, mungkin dengan bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan.

Inisiatif aplikasi ebook Ruang Buku Kominfo (Kominfo) perlu terus diperkuat dengan memperbanyak buku dan memastikan aplikasinya bisa diakses dengan konsisten. Mungkin perlu pula dilakukan cara-cara kreatif, misalnya menggandeng para influencer untuk meningkatkan budaya baca buku atau menyelenggarakan kegiatan gerakan baca buku skala nasional, sampai membentuk klub-klub buku online.

Pada akhirnya, kebiasaan membaca akan memperkuat generasi muda tidak hanya tangguh dan bijaksana menghadapi perkembangan teknologi, tapi diharapkan juga dapat berkontribusi merangsang mereka menjadi pencetus produk-produk teknologi kebanggaan bangsa yang syukur-syukur tidak hanya tenar di dalam negeri, tapi juga bisa menjadi kelas dunia.



Simak Video "Video Soroti Polemik Royalti Agnez Mo vs Ari Bias, Piyu Desak Direct License"

(fyk/jsn)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork