Dokter, Influencer, dan Emosi Anti Ambyar
Hide Ads

Kolom Telematika

Dokter, Influencer, dan Emosi Anti Ambyar

Syafiq Basri Assegaff - detikInet
Selasa, 22 Agu 2023 17:00 WIB
Ilustrasi transfer pulsa pengguna smartphone.
Foto: Istimewa
Jakarta -

Sekitar 84% followers menaati pesan dokter di media sosial, apabila kontennya menyenangkan mereka.

Ya, bisa dibilang dokter saat ini juga berperan sebagai influencer ketika sudah terjun ke sosial media. Mereka tak cuma dituntut untuk memberi informasi sesuai kapabilitasnya, namun juga bak menjadi juru selamat anti ambyar.

Kata 'ambyar' dalam bahasa Jawa sering digunakan untuk menggambarkan perasaan hancur, rusak, atau hilang secara emosional. Dalam konteks musik atau seni pertunjukan Jawa, 'ambyar' dapat merujuk pada ekspresi perasaan yang mendalam dan intens.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Studi yang saya lakukan meneliti sejumlah 673 konten tiga orang dokter yang menjadi influencer (pemengaruh) di Instagram menunjukkan 487 dari 581 followers yang mengikuti survei (atau 84 %) berniat untuk mengubah sikap untuk hidup lebih sehat, apabila pesan yang disampaikan para dokter itu membuat mereka merasa gembira - alias anti ambyar. Terbukti kebanyakan followers juga beranggapan bahwa ketiga dokter jarang menggugah emosi negatif yang bikin perasaan ambyar.

Penelitian dilakukan terhadap unggahan ketiga dokter di Instagram selama 10 bulan, mulai Maret sampai dengan Desember 2020, periode ketika pandemi COVID-19 sedang memuncak.

ADVERTISEMENT

Hal ini saya paparkan dalam promosi doktor ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Rabu (16/8/2023) lalu. Melalui metode campuran dalam disertasi yang berjudul, "Kompetensi 'Emotional Appeals' Dokter sebagai Influencer Instagram pada masa Pandemi COVID-19," saya menggabungkan antara survei terhadap 581 followers Instagram dengan analisis konten dan wawancara terhadap tiga dokter influencer.

Ketiga dokter yang menjadi narasumber itu adalah ahli penyakit dalam dr Adaninggar Primadia Nariswari SpPD (Surabaya), ahli kedokteran olahraga dr Andhika Raspati (Jakarta) dan bintang televisi dr Lula Kamal.

Emosi positif seperti rasa senang atau gembira yang muncul dalam diri followers menyebabkan mereka mau memberi komentar dan lambang hati (likes), yang merupakan tanda adanya engagement (keterikatan) antara kedua belah pihak.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga dokter menerapkan strategi persuasi yang efektif. Hasil survei meneguhkan hal itu, di mana unggahan (konten) ketiga dokter di Instagram berhasil memantik emosi positif pada 92% followers yang mengisi survei.

Penelitian juga membuktikan bahwa keterikatan atau interaksi (engagement) paling tinggi terjadi pada konten berupa video. Hasil survei juga menunjukkan bahwa setidaknya sejumlah 35% followers menyatakan akan melakukan resharing unggahan ketiga dokter pemilik akun.

Itulah satu di antara pelajaran yang bisa dipetik dari pandemi COVID-19 yang lalu. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan dan influencer pada umumnya perlu meningkatkan kecakapannya dalam berkomunikasi di media sosial dengan cara menerapkan strategi persuasi yang baik. Terutama karena di media sosial terjadi rebutan pengaruh antara penyedia informasi yang benar dan kredibel dengan para penyebar hoaks dan misinformasi yang menolak realitas adanya wabah.

Dengan kalimat lain, meminjam istilah orang marketing, pada era sekarang ini, target market kita adalah perhatian (attention) khalayak. Berhubung platform media sosial makin sibuk dari waktu ke waktu, dan "durasi perhatian" (attention span) makin menyempit, hanya orang-orang yang memiliki suara unik, pesan yang jelas dan konsisten serta kesadaran diri yang kuat sajalah yang bisa berhasil.

Oleh karena itu, agar efektif, para komunikator di media sosial harus dapat menggiring perhatian (attention) khalayak, karena attention merupakan sebuah kekuatan yang dipakai untuk menyebarkan pesan tertentu dan mempengaruhi orang lain

Saat ini terdapat tidak kurang dari 4 milliar pengguna media sosial di dunia, termasuk 105 juta pengguna Instagram di Indonesia. Melawan misinformasi tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun merupakan tugas bersama dan sinergi antara pemerintah, profesional dengan kredibilitas di bidangnya dan pemangku kepentingan lainnya. Sudah saatnya para profesional seperti dokter memaksimalkan media sosial miliknya sebagai saluran edukasi hingga meluruskan atau membentuk opini positif.

Harapannya, dengan adanya sinergitas yang baik antara para komunikator, maka hoaks yang muncul di masyarakat tidak hanya diminimalisir produksinya, tetapi juga diredam dengan cara-cara persuasif yang efektif. Studi itu menyarankan agar partisipasi di media sosial secara aktif dapat terus dilakukan pasca pandemi, guna mempromosikan kesadaran sehat masyarakat.

Ethos, Logos dan Pathos

Dari sisi ilmu syaraf (neuroscience), interaksi (engagement) dalam wujud respons dari audiens menimbulkan perasaan positif dalam diri komunikator (dokter) juga, yakni timbulnya perasaan anti ambyar alias gembira dalam diri komunikator karena adanya penghargaan meskipun mereka tidak menerima upah dari hasil aktivitasnya di Instagram. Perasaan senang itu dapat dijelaskan melalui neuroscience yakni munculnya hormon 'dopamine' dalam tubuh komunikator.

Sebagai doktor ke-139 dari Sekolah Pascasarjana Sahid, disertasi saya yang panjangnya hampir 500 halaman itu dipertahankan di hadapan empat penguji, yakni Dr Bertha Sri Eko Murtiningsih, M.Si (dari Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten), Dr Turnomo Rahardjo, M.Si (Universitas Diponegoro Semarang), Dr Titi Widaningsih, MSi (Universitas Sahid), dan Dr J.A. Wempi, MSi, (Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR). Penelitian dibimbing promotor Prof. Dr. Alo Liliweri (dari Undana, NTT) dan co-promotor Dr. Alex Seran (dari Unika Atmajaya, Jakarta).

Promosi itu juga dihadiri sejumlah guru besar dan pengajar berbagai perguruan tinggi, perwakilan Majelis Kode Etik (MKEK) IDI, dan mantan rektor Univeritas Paramadina Anies Baswedan, yang pernah menjalani karantina mandiri pada Desember 2020 akibat terserang COVID-19 saat ia menjadi gubernur DKI Jakarta.

Menjawab pertanyaan penguji, saya di antaranya menjelaskan bahwa setiap opinion leader seperti dokter perlu menguasai kompetensi komunikasi yang baik, agar pesannya efektif, sehingga dapat menimbulkan niat (intensi) pada diri publiknya agar mau mengubah sikap dan perilaku sehat mereka. Kompetensi komunikator terwujud oleh adanya motivasi, pengetahuan dan keahlian (skill) yang mereka miliki.

Di media sosial para dokter juga memerlukan kompetensi komunikasi yang diwujudkan melalui pengiriman pesan yang persuasif berdasarkan strategi ethos, logos dan pathos yang menjadi strategi retorika gagasan filsuf Yunani Aristoteles. Ethos dibangun oleh adanya kredibilitas yang telah dimiliki para dokter, adanya niat baik (goodwill) dan kepercayaan (trust) yang ada dan harus dipertahankan.

Logos diwujudkan oleh adanya argumen yang dimengerti audience dan masuk akal. Namun, yang paling penting adalah bahwa keduanya, ethos dan logos, harus disertai dengan pemunculan pathos, yakni emotional appeal. Di sini, setiap komunikator termasuk dokter harus dapat memantik emosi positif dalam diri followers mereka di media sosial supaya dapat memunculkan interaksi (engagement) dengan para pengikut itu.

Ketiga strategi itu penting agar pesan para dokter yang menjadi influencer di media digital itu efektif dalam mengubah sikap dan perilaku followers (audience). Persuasi sendiri didasarkan pada retorika, yang jelas-jelas berbicara mengenai kompetensi. Untuk melihat kualitas kompetensi seseorang seperti para dokter dalam penelitian ini, maka harus dilihat persuasinya berdasarkan tiga sekawan: ethos, logos dan pathos.

Berdasarkan konsep enam emosi dasar manusia yang digagas Ekman (2003), ketiga dokter influencer yang diteliti menunjukkan bahwa pemantikan emosi (rasa) gembira mendominasi unsur pathos yang ada, disusul emosi marah, terkejut dan sedih. Emosi lain yang juga dipantik adalah rasa takut dan jijik.

Sehubungan dengan itu, dokter harus pandai menciptakan suasana yang relaks, penuh humor, dan berinteraksi secara baik, terbuka dan responsif, agar pasien di ruang praktik, maupun pengikut di media sosial, juga bersikap terbuka, sehingga lebih mudah didiagnosis dan menerima saran kesehatan.

Emosi positif yang dipantik itu (atau pathos) penting, karena data saja (logos) tidak bisa menerangkan dirinya sendiri. Sedangkan ethos sendiri akan percuma bila tidak disertai logos dan pathos.

Terakhir harus dicatat bahwa, retorika digital di media sosial bukan saja berfungsi dalam komunikasi antar-pribadi (interpersonal communication), tetapi sekaligus menunjukkan adanya komunikasi massa dari seorang komunikator (misalnya pemilik akun di media sosial) kepada publik luas. Dan ini penting sebagai dasar komunikasi, bahkan setelah wabah berakhir.

*) Penulis, Syafiq Basri Assegaff merupakan dokter alumnus FK Unpad, dan pengajar komunikasi di LSPR Communication & Business Institute, Jakarta.




(fyk/fyk)