Kekhawatiran kecerdasan buatan alias AI menggantikan pekerjaan manusia kini terbukti. Perempuan ini menjadi korbannya.
Sharanya Battacharya namanya. Selama ini dia menjadi ghostwriter dan copywriter di sebuah agen kreatif sembari merampungkan kuliahnya.
Dia sering menggarap beberapa artikel yang dioptimalkan untuk SEO setiap minggu. Dari pekerjaannya itu dia mendapat bayaran USD 240 atau Rp 3,6 juta per minggu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dibantu AI, Reels Klaim Bisa Pepet TikTok |
Namun semua berubah saat kedatangan ChatGPT. Pada akhir 2022, beban kerja Battacharya berkurang dan akhirnya dikurangi menjadi hanya menulis satu atau dua karya per bulan.
Sharanya mengklaim bahwa perusahaan yang menugaskan pekerjaannya mulai mengandalkan AI. Sebab perusahaan tidak memberikan penjelasan atas berkurangnya pekerjaan yang dibebankan padanya.
"Sangat sulit sejak pengurangan beban kerja saya, tidak hanya untuk saya tetapi juga keluarga saya," kata siswa Kolkata, India, itu kepada SWNS. "Saya hampir tidak dapat menghasilkan 10% dari apa yang biasa saya hasilkan."
Penghasilan perempuan berusia 22 tahun ini menyokong ekonomi keluarga. Ibunya, Bandana, 45, berprofesi sebagai penjual sari.
Saat arus kas melambat, pasangan ibu anak ini terpaksa mengencangkan ikat pinggang lagi. Padahal kehidupan mereka sudah terasa sulit .
"Kami harus memantau berapa banyak makanan yang kami konsumsi, dan kami tidak lagi melakukan hal-hal yang biasa kami nikmati seperti pergi makan. Kami hanya dapat melakukannya setiap beberapa bulan sekali," kata mahasiswi pascasarjana Ilmu Biologi di Institut Pendidikan dan Penelitian Sains India ini.
"Kami harus memfokuskan uang kami pada kebutuhan, seperti makanan dan tagihan, untuk memastikan kami dapat hidup dengan baik."
Sekarang, hidupnya sangat tidak pasti karena dia menghadapi potensi menjadi pengangguran.
"Begitulah cara saya mencari nafkah sambil belajar, saya sangat terpukul ketika saya mulai menerima semakin sedikit pekerjaan," jelasnya. "Saya cemas, merasa tersesat, mengalami serangan panik, beberapa bulan terakhir ini tidak begitu baik bagi saya."
Dia mendesak perusahaan untuk mempertimbangkan siapa yang terpengaruh oleh PHK massal, menyoroti "perbedaan besar" antara pekerjaan yang diproduksi manusia dan konten yang dihasilkan AI.
"Ada banyak copywriter bagus tidak hanya di India tetapi di seluruh dunia yang terpengaruh oleh ini," katanya.
Dia menambahkan, "Saya berharap akan ada cara di masa depan di mana manusia dapat menggabungkan AI dengan keterampilan hak cipta mereka untuk bekerja sama guna menghasilkan hasil yang lebih baik secara keseluruhan."
Tapi Sharanya tidak sendirian dalam protesnya terhadap AI. Bulan ini, karyawan Adobe menyuarakan keprihatinan atas alat desain perusahaan, khawatir pemanfaatan AI dapat mengakibatkan hilangnya pekerjaan.
Kegelisahan mereka mengikuti laporan bulan Juni dari perusahaan konsultan McKinsey yang mengungkapkan bahwa pengenalan kecerdasan buatan di dunia kerja akan menghasilkan perombakan pekerjaan, terutama untuk "pekerja berpengetahuan dengan upah lebih tinggi", demikian dilansir dari New York Post.
(afr/afr)