Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengungkapkan ada banyak pelajaran yang bisa diambil berkaitan dengan keberadaan fauna endemik Komodo di Labuan Bajo. Salah satunya, sejarah dan keberadaan Komodo yang menjadi cermin ketangguhan adaptasi dan resiliensi yang bisa diadopsi dalam menghadapi digitalisasi.
"Itu bisa mengajari kita banyak hal tentang kekuatan, ketahanan, atau apa yang saya sebut sebagai kemampuan bertahan hidup adaptif. Bagi saya, Labuan Bajo lebih dari sekadar tempat indah di Indonesia. Tempat ini bersama penduduknya, endemik Komodo yang menyerupai Naga dan banyak warisan budayanya," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (21/7/2022).
Hal ini ia tuturkan dalam Gala Dinner Pertemuan Ketiga Digital Economy Working Group (DEWG) Presidensi G20 Indonesia di Puncak Waringin, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (20/07).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam acara tersebut Johnny menjelaskan keberadaan Komodo pertama kali diakui secara global pada tahun 1910. Sejak saat itu, ilmuwan di seluruh dunia telah mendalilkan bagaimana makhluk purba yang hidup di sekitar bumi 83,9 juta tahun lalu, masih bertahan. Menurutnya, makhluk menyerupai naga tersebut merupakan fosil hidup dengan keindahan yang menguasai alam Pulau Komodo dan daratan di sekelilingnya.
"Dinosaurus yang masih hidup. Ada banyak teori di luar sana tentang bagaimana Komodo yang menyerupai Naga masih hidup di antara kita, namun tetap menjadi fakta bahwa terlepas dari dunia yang menantang dan tantangannya, naga kehidupan nyata ini masih hidup dan masih menunjukkan kemampuan bertahannya sebagai predator puncak," terangnya.
Ia menyebut semangat adaptasi dan bertahan hidup yang ditunjukkan Komodo lebih dibutuhkan di zaman digital. Terlebih saat ini, setiap orang telah dan masih menghadapi dunia yang terus berubah serta tantangan yang mendorong manusia selalu beradaptasi dan bertahan.
"Contoh survivabilitas adaptif semangat lebih dibutuhkan di zaman digital. Di sini saya dapat mengatakan bahwa semangat seperti itu dibutuhkan juga di era digital saat ini," imbuhnya.
Johnny menjelaskan dalam kisah Flores barat dan sejarah Komodo Purba, kemampuan beradaptasi serta bertahan hidup membutuhkan banyak waktu dan usaha. Karenanya, ia menilai kolaborasi menjadi satu-satunya cara bertahan hidup untuk dapat menghadapi tantangan digital baik di saat sekarang maupun masa depan.
"Saya bertanya kepada kita semua malam ini, bisakah kita bekerja secara individu? Pelan tapi pasti dan masih bertahan dari disrupsi digital? Saya yakin, secara individu kita hanya bisa berharap untuk dapat mengatasi waktu tapi tidak mampu beradaptasi. Karena arus digitalisasi terlalu cepat sehingga kita mengalami banyak proses evolusi. Kolaborasi adalah satu-satunya cara bertahan hidup, bersama-sama kita mengkatalisasi proses adaptasi sambil berpegangan tangan," imbaunya.
Johnny menegaskan kolaborasi merupakan langkah yang relevan dengan upaya kolektif untuk membawa dunia beradaptasi dan bertahan dalam transisi ke era digital.
"Saya sangat berharap melalui pertemuan Kelompok Kerja Ekonomi Digital yang ketiga ini dan yang akan datang, kita dapat bersama-sama memajukan adaptasi digital ke dalam kehidupan masyarakat," tambahnya.
Selain itu, ia juga menyatakan upaya mendongkrak kemampuan bertahan hidup selama disrupsi digital sangat lah penting dan dapat diadaptasi dari situasi di Labuan Bajo.
"Saya harap sambutan singkat saya dapat melukiskan gambaran yang lebih bermakna tentang pengalaman kita semua selama di Labuan Bajo, Pulau Flores Barat," pungkasnya.
Tak lupa, Johnny berharap semua delegasi negara anggota G20 dapat mengikuti pertemuan DEWG selanjutnya di bulan Agustus mendatang yang berlangsung di Pulau Bali.
(fhs/ega)