Meski teknologi telah menjadi kebutuhan dan semakin banyak talenta lokal yang tertarik mendalami bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM), Indonesia masih mengalami ketimpangan yang cukup signifikan terkait SDM dari sisi gender di bidang tersebut.
Mengacu pada data Kementerian Perindustrian tahun 2018, hanya 12% perempuan yang berasal dari jurusan terkait STEM di Indonesia. Dampaknya, partisipasi perempuan dalam sektor pekerjaan terkait STEM pun menjadi terbatas. Secara khusus, di tahun yang sama, perempuan hanya mewakili 22% dari angkatan kerja di perusahaan teknologi.
Berdasarkan data dari Katadata bekerjasama dengan Investing in Women Asia, sebuah inisiatif oleh Pemerintah Australia, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perempuan untuk melanjutkan minat mereka di bidang STEM adalah karena masih melekatnya stigma bahwa laki-laki masih mendominasi sektor ini.
Untuk mendobrak stereotype ini, diperlukan dukungan kolektif dari semua pihak, mulai dari keluarga serta role model perempuan yang dapat mendorong lebih banyak keterlibatan perempuan di bidang STEM. Di dunia kerja, perusahaan juga perlu mengutamakan nilai inklusivitas serta memberikan kesempatan kerja yang sama dengan menciptakan budaya kerja yang tidak bias gender.
Masih dalam rangka memperingati Hari Kartini 21 April, lima perempuan berprestasi di balik aplikasi Traveloka berbagi cerita dan pendapat mereka tentang dominasi laki-laki di bidang IT.
Meski sekarang sudah lebih banyak perempuan menekuni bidang STEM, jumlahnya masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Faktor apa yang mendorong kondisi ini?
Veronica Dian Sari, Data Engineer:
Ada banyak faktor yang mempengaruhi perempuan untuk enggan terjun ke sektor STEM walaupun sebenarnya banyak yang tertarik untuk menekuni bidang ini. Salah satunya yang mungkin masih kerap dialami yaitu stigma bahwa STEM merupakan bidang yang didominasi laki-laki dan hanya laki-lakilah yang bisa berprestasi di bidang ini. Stigma ini kemudian tertanam di benak perempuan-perempuan muda yang merasa ragu dan takut untuk menempuh pendidikan atau bekerja di bidang yang berkaitan dengan ini, misalnya informasi teknologi, meskipun mereka memiliki ketertarikan dan kemampuan untuk itu.
Maka dari itu, dibutuhkan lebih banyak sosok-sosok perempuan yang berani mengambil langkah dan menjadi inspirasi bagi para perempuan-perempuan muda lainnya, sehingga perlahan rasio antara jumlah laki-laki dan perempuan di sektor ini semakin seimbang. Hal ini lah yang mendorong saya untuk menjadi relawan pengajar topik terkait STEM di program holiday club NGO Generation Girl dengan peserta perempuan muda usia 12 hingga 18 tahun.
Selain itu, sebagaimana saya mendapatkan dukungan dari lingkungan kerja saya di Traveloka yang menjunjung tinggi kesetaraan gender, saya berharap semakin banyak lingkungan pembelajaran maupun pekerjaan di bidang STEM juga menerapkan inklusivitas dan objektivitas.
Hayyu Luthfi Hanifah, Data Analyst:
Masih ada stigma melekat di masyarakat bahwa hanya laki-laki yang bisa bertahan dan berkembang di bidang STEM. Masih ada bias gender yang terpatri secara sistemik, misalnya kesempatan untuk perempuan bekerja dan belajar di bidang ini lebih sedikit dari laki-laki. Masih ada orang tua yang merasa ragu membiarkan anak perempuannya untuk menempuh pendidikan dan karier di bidang STEM.
Bias gender ini pun kadang menjadi tantangan yang datang dari diri saya sendiri. Saya kadang merasakan Impostor Syndrome dan memiliki keraguan untuk mengemukakan pendapat di pekerjaan saya karena khawatir logika dan kemampuan saya tidak setajam rekan kerja laki-laki.
Namun rekan satu tim dan lingkungan kerja saya di Traveloka selalu mendukung tanpa melihat gender saya sebagai perempuan. Hal ini lah yang perlahan kembali membangkitkan rasa percaya diri saya untuk memberikan opini.
Nadhira Azzahra Hendra, Data Analyst:
Menurut saya faktor rendahnya partisipasi perempuan di sektor STEM karena stigma yang masih kuat melekat di masyakarat bahwa perempuan sebaiknya tidak bergelut di bidang di mana laki-laki dianggap lebih unggul. Selain itu faktor kesempatan untuk berkompetisi secara terbuka sepertinya juga masih menjadi penghalang bagi perempuan untuk berkreasi di sektor ini.
Devina Ekawati, Machine Learning Engineer:
Faktornya mungkin bisa datang dari individunya. Mungkin masih banyak yang merasa takut, khawatir dan ragu untuk menekuni bidang IPTEK karena sektor ini identik dengan laki-laki. Di Indonesia, saya melihat bisa juga karena dipengaruhi budaya korporasi yang terkadang memperlakukan wanita dan pria secara berbeda dan lebih banyak memberikan kesempatan kepada pria dibandingkan dengan wanita.
Saya bersyukur selama bekerja di Traveloka saya tidak pernah mengalami halangan maupun bias gender, baik perusahaan maupun rekan kerja saya sangat suportif. Jadi tantangannya lebih ke diri sendiri, bagaimana kita bisa break the barrier dan bisa menunjukkan performance sesuai dengan apa yang diekspektasikan ke kita.
Khusna Nadia, Data Warehouse Engineer:
Bagi saya faktor internal dan eksternal turut memengaruhi keputusan seorang perempuan untuk terjun ke bidang IPTEK ya, termasuk sektor IT. Faktor internal bisa berupa keraguan yang muncul dari dalam diri sendiri, misalnya apakah saya nyaman kuliah atau bekerja di sektor yang didominasi laki-laki, apakah saya mampu bersaing dengan laki-laki, apakah sebagai perempuan saya akan dilihat sebelah mata, dan sebagainya.
Sedangkan faktor eksternal seperti dukungan dari orang tua, lingkungan sekitar, baik di area sekolah, kampus, dan di dunia kerja seperti rekan kerja maupun atasan. Kemudian, kesempatan untuk mengikuti seminar atau talkshow yang membahas topik STEM dengan narasumber yang inspiratif dan menyenangkan juga dapat menjadi poin tambahan untuk memunculkan minat perempuan untuk terjun ke dunia STEM.
Selanjutnya: Dampak Ketimpangan Gender di Bidang Teknologi
(rns/rns)