Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan memiliki big data 110 juta rakyat yang menginginkan penundaan pemilu 2024.
Banyak pihak yang mendesak agar Luhut membuka big data tersebut, termasuk yang terbaru debat antara Luhut dan mahasiswa di UI, Depok, kemarin.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengatakan bahwa big data tersebut harus jelas proses bagaimana dan darimana diambilnya, sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara teknis, ada banyak cara mengetahui perbincangan publik di media sosial atau platform internet lainnya. Karena itu, kita perlu bertanya 110 juta yang disampaikan Pak Luhut ini mengambil data dari platform apa dan bagaimana metodologinya. Perlu disampaikan ke publik, agar kita bisa menilai sejauh mana, sekaligus membuka ruang diskusi," ujarnya, Rabu (13/4/2022).
Misalnya, sumber big data tersebut, apakah mengambil dari pembicaraan masyarakat di Twitter, tetapi pengguna aktif media sosial ini di Indonesia hanya di angka 15 jutaan, itu pun, kata Pratama, masih banyak akun anonim.
Dari hasil riset Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) menggunakan Open Source Intelligence (OSINT) akun Twitter yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan tiga kali periode di kisaran 117.746 (Tweet, Reply, Retweet) dan mencapai 11.868 pemberitaan online.
Dari data keduanya diketahui yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,60% dan pro 16,40%. Sedangkan pada Media Online dengan kontra sebesar 76,90% dan pro 23,10%.
"Dari data ini saja sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu," jelas Pratama.
![]() |
Lebih lanjut, data tersebut diambil dan dianalisis saat setelah ada statemen dari Menko Marves Luhut Panjaitan, pada periode analisis tanggal 15 Februari sampai dengan 15 Maret 2022 dengan sejumlah tokoh dan organisasi yang pro dan kontra.
Tokoh kontra penundaan pemilu yang paling banyak terdapat pada artikel berita yaitu Agus Harimurti Ketum Partai Demokrat sebanyak 1.420, disusul Surya Paloh Ketum Nasdem sebanyak 555.
Lalu tokoh pro penundaan pemilu yang terbanyak, yaitu Muhaimin Iskandar 3.892 artikel berita, diikuti Zulkifli Hasan Ketum PAN. Ada juga 10 organisasi yang pro penundaan pemilu seperti PKB, Golkar, dan Kemenkomarves. Lalu yang kontra sebanyak 71 organisasi yaitu PPP, PDIP, LSI (Lembaga Survei Indonesia), Partai Demokrat, Muhammadiyah, dan yang lainnya.
"Berbeda bila 110 juta ini mengambil pembicaraan dari Facebook, Instagram dan TikTok, jumlah pemakainya memang sangat banyak. Facebook di Indonesia pemakai bisa jadi lebih dari 130 juta, Instagram sudah hampir menembus 100 juta pemakai, belum lagi TikTok yang pemakainya bertambah dengan cepat di Indonesia. Namun tidak semuanya membicarakan penundaan pemilu, banyak yang tidak perduli. Lebih banyak membicarakan hal yang lain," tuturnya.
Halaman selanjutnya: Sumber pengambilan data harus jelas >>>
Simak Video 'Momen Luhut Hampiri Mahasiswa UI, Debat soal Big Data':
Kata Chairman CISSReC ini, sumber pengambilan data ini harus jelas. Menurut dia, untuk mengambil data ini dengan survei juga hal yang sangat sulit bahkan mustahil meskipun dilakukan online. Karena harus sesuai dengan usia, dan untuk mencapai angka 110 juta itu sangat sulit dilakukan.
Baca juga: 5 Kesalahan Saat Memakai WhatsApp |
"Mengumpulkan dan membaca data Facebook, Instagram dan WhatsApp tidak semudah di Twitter yang membuka API (application programming interface). Sehingga perlu persetujuan Facebook untuk pihak ketiga membaca data dan mengumpulkannya," sambung Pratama.
Hal ini mirip seperti yang dilakukan oleh Cambridge Analytica yang membaca kecenderungan pilihan warga Inggris menjelang Brexit dan pilihan warga AS menjelang pilpres 2016. Pada akhirnya setelah ini bocor menjadi kasus besar, yang pada akhirnya berujung pada semakin ketatnya perlindungan data pribadi di Eropa dengan GDPR (General Data Protection Regulation).
Pratama menambahkan big data 110 juta data yang berasal dari Luhut itu berasal dari Twitter sudah pasti tidak mungkin karena jumlah akun aktifnya di Indonesia sedikit. Kemungkinan data tersebut diambil dari Facebook dan lainnya, melihat berbagai peristiwa yang melibatkan Facebook di waktu lalu.
"Namun pasca kasus Cambridge Analytica, Facebook sendiri sudah membatasi untuk tidak membagi data pada pihak ketiga dengan mudah," pungkasnya.