Banyak yang berpendapat lulus S2 makin membuka kesempatan yang luas untuk berkarier. Tapi apa yang dialami Marilyn Parhusip CEO Leastric malah kebalikan awalnya, peluang dirasa tertutup rapat yang akhirnya bikin dia nekad belajar coding lagi untuk bikin aplikasi mobile.
Marilyn mengaku sudah tertarik dengan dunia teknologi sejak usia belia. Karena itu pula dia memutuskan untuk ikut ekstrakurikuler teknik elektro saat SMP.
"Waktu itu aku cewek sendiri, yang lainnya cowok," kata Marilyn saat berbincang dengan detikINET.
Dia pun kemudian berkuliah di jurusan Teknik Elektro di Universitas Atma Jaya. Karena perempuan kelahiran Salatiga ini bercita-cita ingin membuat robot.
Hanya saja impian untuk mengejar gelar master robotik kandas di tengah jalan. Alam semesta seolah tidak mendukungnya kala itu.
"Diterima (S2) di Belanda, tapi kebetulan saya tidak bisa pergi. Kondisi keluarga tidak memungkinkan, beasiswa juga sudah tutup, jadi saya lepas," kenang Merilyn.
Cobaan tidak selesai di situ, kendati sudah mengantongi gelar sarjana teknik, mimpi bekerja di perusahaan teknologi usai lulus kuliah tidak pula terwujud. Banyak lamaran yang dijajaki, tapi tidak satupun yang nyantol.
Masalah gender jadi batu sandungan. Semua lowongan mencari kandidat pria. Dan ketika Marilyn di tahap akhir seleksi, selalu kandidat laki-laki yang diterima.
"Saya sempat jadi dua orang terakhir yang dipilih, saya dan satu lagi kandidat cowok. Perusahaan itu memilih kandidat cowok karena alasannya saya seorang cewek," ujarnya.
![]() |
Kondisi anaknya begitu, sang ibu pun berpesan agar Marilyn tidak perlu idealis mencari kerja sesuai bidangnya. Dia disarankan untuk mencari pekerjaan apapun, meski bukan di bidang teknologi.
Perempuan yang hobi nyanyi ini manut pesan ibunya. Marilyn pun menjajal melamar di bidang lain. Akhirnya diterima di bagian kredit dan marketing sebuah bank.
"Saya sempat pusing saat pertama kali masuk, hampir menyerah, orang otaknya bukan ekonomi. Tapi saya coba eh kok sampai delapan tahun di bank," ujarnya sembari tertawa.
Kendati delapan tahun menjalani karier di bank, keinginan untuk bergelut di bidang teknologi rupanya tidak padam. Akhirnya Marilyn memutuskan berhenti dari pekerjaannya dan mengambil gelar master di University of Technology, Sydney, Australia.
Tak tanggung-tanggung dua gelar yang diambilnya. Ada Master of Business Administration (MBA) di jurusan Technology Management dan Master of Engineering (MEng) di jurusan Engineering Management.
Tapi dua gelar yang didapat malah jadi bumerang bagi dirinya. Marilyn kembali ditolak oleh sejumlah perusahaan teknologi di Indonesia saat dirinya hendak bergabung.
"Karena tahun saya sempat kerja di Australia, perusahaan di sini mengaku tidak bisa membayar gaji saya, kegedean kalau kata mereka. Ada juga yang ngira saya bakal bentar di Indonesia dan bakal balik lagi ke Australia," tutur Marilyn.
Karena tidak dapat kerja, dia akhirnya membuka usaha bersama temannya bikin aplikasi dropshipping dan berjualan makanan di kantin kantor. Nah dari kantin kantor inilah Marilyn tahu soal Apple Developer Academy.
"Ada kakaknya teman tahu saya suka sekali teknologi dan ingin balik ke dunia teknologi, dia bilang kalau Apple Developer akan buka dan menganjurkan saya untuk mencoba daftar," ujarnya.
'Murtad' dari Android ke iOS
Merilyn mengaku awalnya ragu mengikuti Apple Developer Academy lantaran usia yang tak lagi muda. Tapi ternyata untuk mengikuti program tersebut tidak ada batasan umur, seketika itu pula semangatnya membara.
Dia pun segera mendaftar, sayangnya karena telat Marilyn hanya masuk daftar waiting list. Pihak keluarga yang tahu soal itu kembali menganjurkannya untuk mencari kerja dan tidak mengikuti gelombang kedua.