Alasan Ramai-ramai Tolak KPI Awasi Netflix dan YouTube
Hide Ads

Alasan Ramai-ramai Tolak KPI Awasi Netflix dan YouTube

Agus Tri Haryanto - detikInet
Rabu, 14 Agu 2019 19:00 WIB
Foto: Agus Tri Haryanto/detikINET
Jakarta - Penggagas petisi online "Tolak KPI Awasi YouTube, Facebook, Netflix!" di Change.org, Dara Nasution, mengungkapkan empat alasan utama kenapa ia mengampanyekan penolakan wacana KPI masuk ke ranah platform digital.

Pertama, wewenang KPI hanyalah sebatas mengatur penyiaran televisi dan dalam jangkauan spektrum frekuensi radio, bukan masuk pada wilayah konten dan media digital.

Kedua, KPI tidak memiliki kewewenangan melakukan sensor terhadap sebuah tayangan dan melarangnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT




Ketiga, Netflix dan YouTube menjadi alternatif tontonan masyarakat karena kinerja KPI buruk dalam mengawasi tayangan televisi.

Keempat, masyarakat membayar untuk mengakses Netflix. Artinya, Netflix adalah barang konsumsi yang bebas digunakan oleh konsumen yang membayar.

Petisi tersebut sampai detik ini, berdasarkan pantauan detikINET pukul 18.05 WIB sudah ditandatangani 80 ribu lebih. Dara yang membuat petisi ini menargetkan ada 150 ribu yang menandatangani penolakan tersebut.




"Kita akan galang terus dukungan dari publik karena melihat jumlah petisinya, itu bukan yang jumlah sedikit ini adalah inspirasi masyarakat. Kita akan kawal terus goals kita memang agar KPI tidak mengawasi Netflix, YouTube dan sejenisnya," tuturnya, Rabu (12/8/2019).

Remotivi yang merupakan organisasi yang fokus pada studi dan pemantauan media juga turut mendukung aksi penolakan KPI melakukan pengawasan ke media nonkonvensional.

Menurut Direktur Remotivi Yovantra Arief kinerja KPI dalam mengawasi konten penyiaran selama ini dikatakan lemah dan populis. Artinya, mereka melakukan aksi tergantung seberapa viralisu tersebut. Bahkan, bertentangan dengan P3SPS.




"Jika, KPI mengawasi OTT (over the top), maka KPI berpotensi jadi alat untuk membungkam ekspresi kelompok marginali dan tidak memperdulikan isu-isu lain yang lebih krusial bagi demokratis digital," pungkasnya.





(rns/krs)