Diskusi itu sendiri bertitel 'Silicon Valley vs Silicon Valais' dan diadakan oleh Swiss Tech Association di Ibukota negara Swiss, yaitu Bern, Selasa (21/2/2017). Di situ Bozovic menceritakan pengalamannya selama menjadi pendatang di Silicon Valley saat mengembangkan startupnya yang bernama Teleport.
Menurut Bozovic, ada empat hal yang membedakan perkembangan startup di Swiss dan AS, yaitu ambisi, pendanaan, perencanaan pengembangan dan kondisi budaya dan demografik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Silicon Valley, kebanyakan startup berusaha membangun suatu produk yang tak sekadar menjadi solusi saat ini, melainkan juga secara jangka panjang. Sementara kebanyakan startup di Swiss sekadar membuat produk yang hanya berfokus untuk menjadi solusi bagi masalah-masalah yang ada saat ini.
"Kebanyakan startup di Swiss kurang mempunyai ambisi. Mereka bisa menemukan teknologi yang canggih tapi dipakai di tempat yang salah," ujar Bozovic dalam diskusi tersebut.
Pendanaan
Antara AS dan Swiss punya perbedaan yang cukup mendasar jika dilihat dari segi investor. Yaitu para investor di AS tak sekadar memberikan suntikan dana, melainkan juga memberikan pelatihan kepada para startup agar bisa berkembang.
Sementara di Swiss, kebanyakan investor sekadar memberikan suntikan dana tanpa memberikan pelatihan. Dan parahnya mereka menginginkan startup tersebut untuk bisa balik modal dalam waktu yang cepat.
Foto: detikINET/Anggoro Suryo Jati |
Perencanaan
Hal ini terkait dengan urusan pendanaan, di mana startup di AS biasanya mempunyai pengembangan yang unik, seringkali melakukan pivoting -- dan biasanya membutuhkan waktu lama--sampai akhirnya bisa sukses. "Contohnya Facebook, di mana business modelnya baru bisa ketahuan setelah mereka IPO," ujar Bozovic.
Sementara di Swiss tak begitu keadaannya. Seringkali mereka memaksakan untuk mencapai kesuksesan dalam waktu singkat, yang malah berakibat pada matinya startup tersebut.
Demografi dan budaya
Startup di AS bisa dengan mudah bertemu dengan calon stakeholder, dan biasanya itu bisa terjadi dalam waktu yang singkat. Sebaliknya, di Swiss hal tersebut sulit terjadi. Bozovic mencontohkan, ia pernah berusaha menghubungkan sebuah startup dengan stakeholdernya, dan hal tersebut membutuhkan waktu satu tahun. "Jika seperti ini, bisa-bisa startup tersebut keburu tutup," keluhnya.
Diskusi ini di akhir dengan sesi tanya jawab dengan para peserta diskusi, yang didominasi oleh para pemenang The Nextdev yang berjumlah 9 orang, berasal dari tiga tim, yaitu Habibi Garden, Juru Parkir dan Kostoom.
The NextDev sendiri adalah salah satu program tanggung jawab sosial Telkomsel yang berbentuk kompetisi pembuatan solusi digital untuk smart city dan smart rural dengan tujuan mencari potensi anak muda Indonesia dalam menciptakan aplikasi mobile yang bisa memberikan dampak sosial positif bagi masyarakat.
Pada tahap awal, lebih dari seribu aplikasi mobile telah terdaftar untuk berkompetisi. Dan pada tahap akhir, terpilih tiga pemenang The NextDev 2016 setelah mereka melewati sejumlah tahap seleksi tingkat regional dan nasional, pitching dan bootcamp. (asj/rns)
Foto: detikINET/Anggoro Suryo Jati