Setidaknya, demikian hasil studi dua profesor dari University of Southern California,terkait dukungan netizen di media sosial terhadap Donald Trump maupun Hillary Clinton.
"Kami menginvestigasi bagaimana bot media sosial secara otomatis menjadi bagian dari populasi Twitter. Mereka meramaikan diskusi online mengenai Pilpres AS 2016," tulis profesor Emilio Ferrara yang bekerjasama dengan rekannya professor Alessandro Bessi dalam studi ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dengan memanfaatkan algoritma pendeteksian social bot, kami menemukan sebagian besar populasi pengguna yang kemungkinan bukan manusia. Mereka menempati porsi signifikan menghasilkan konten," terang Bessi.
Dalam penelitiannya, Ferrara dan Bessi menganalisa sekitar 20 juta tweet terkait dengan Pilpres AS dan menemukan 3,8 juta tweet di antaranya berasal dari bot.
"Temuan kami memperlihatkan bahwa kehadiran bot media sosial bisa berdampak negatif terhadap diskusi politik yang demokratis ketimbang meningkatkannya. Social bot memutarbalikkan diskusi online terkait Pilpres AS," jelas keduanya.
Ditambahkan Ferrara dan Bessi, mereka tidak bisa mengidentifikasi sumber tweet palsu, baik dari kubu Donald Trump maupun Hillary Clinton. "Hingga saat ini, masih sulit mengetahui siapa di balik bot ini," tulis Bessi dan Ferrara dalam jurnal penelitian mereka.
Dalang di balik bot kerap membuat akun Twitter dan Facebook palsu dengan mencuri foto-foto online, memberikan nama-nama fiktif, dan mengkloning informasi biografis dari account yang ada.
Bot ini demikian canggih sehingga mereka tampak wajar memposting tweet, berbagi konten, melakukan tweet, mengomentari postingan dan menumbuhkan pengaruh sosial mereka, bahkan berinteraksi seperti manusia.
"Individu, organisasi pihak ketiga, maupun pemerintah asing, bisa mendalangi operasional ini," sebut Ferrara. (rns/rou)