Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Kolom Telematika
Pengadaan TIK Indonesia Rumit atau (Dibikin) Rumit?
Kolom Telematika

Pengadaan TIK Indonesia Rumit atau (Dibikin) Rumit?


Penulis: Dimitri Mahayana - detikInet

Dimitri Mahayana (Foto: Dok. Pribadi)
Jakarta - Sejumlah pengalaman pengadaan barang dan jasa teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang sekilas saja terdengar rumit, kerap dialami dan dikeluhkan kepada penulis belakangan ini. Beberapa terdengar bukan saja rumit, tapi juga ganjil menjurus mengkhawatirkan.

Misalnya ada sebuah perusahaan pelat merah dalam empat tahun terakhir melakukan pengadaan perangkat memindai kiriman pelanggan. Pengadaan lalu dinyatakan bermasalah dan menjadi kasus hukum.

Dugaan pelanggaran sementara adalah ketidaksesuaian barang yang dibeli dengan spesifikasi di awal. Ketua panitia penerimaan barang menjadi tersangka. Padahal penelitian lebih dalam menunjukkan, tidak ada indikasi kerugian negara apa pun dalam pengadaan ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di sebuah bank, kasus pengadaan TIK terjadi dengan penyimpangan merugikan negara sekitar Rp 5 miliar. Dugaan penyimpangan antara lain pengadaan tidak memiliki justifikasi yang kuat, terkesan dipaksakan, delivery pekerjaan oleh vendor tak sesuai spesifikasi awal, serta pekerjaan oleh vendor yang tidak selesai.

Lain halnya pengalaman kawan lain. Petinggi sebuah institusi menjadi terdakwa tindak korupsi dan didakwa merugikan negara miliaran rupiah karena dinyatakan bermasalah dengan adanya penyalahgunaan wewenang dalam menentukan vendor pelaksana.

Juga, penetapan pagu anggaran yang hanya dibuat perkiraan, pengadaan tidak didasarkan kebutuhan, serta temuan banyak barang-barang akhirnya tidak terpasang, dan atau terpasang berfungsi namun tidak optimal.

Selain pengalaman kolega penulis, kita pun masih ingat yang sempat ramai beberapa tahun lalu. Pengadaan sistem pembayaran elektronik pembuatan paspor menuai dugaan korupsi dan sudah ditetapkan tersangka. Dalam kasus ini, dua vendor payment gateway yang merupakan pihak swasta ikut terseret.

Dugaan penyidik adalah pemimpin proyek menyalahgunakan wewenang untuk menunjuk vendor, pada saat belum memiliki wewenang pemilihan vendor serta membuka rekening bank di luar ketentuan untuk menampung pungutan biaya layanan.

Belum cukup sampai sana. Saat ini lagi ramai smart city dengan salah satu kojo-nya adalah e-budgeting. Ada tren begini: Sistem dibangun secara inhouse dengan melibatkan tim ahli yang direkrut dari luar pemerintah. Tim ahli ditunjuk secara langsung dan bekerja dengan gaji per bulan. Ahli bertugas menyusun master plan dan mengawal pengembangan sistem.

Sistem e-budgeting sendiri masih bersifat programatik, ataupun produk inovasi. Dan rerata belum memiliki dasar hukum yang kuat berupa peraturan pemerintah maupun undang-undang. Lantas akankah program pengadaan TI ini berpotensi akan menuai dugaan penyimpangan?

Dalam riset yang kami lakukan tahun lalu kepada 21 responden perusahaan, masih banyak perusahaan yang mengalami masalah saat pengadaan TI (70%). Banyak perusahaan terkendala masalah harga/tarif, penyusunan requirement, maupun kendala implementasi.

Dari masalah tersebut, identifikasi kasus dugaan korupsi pengadaan TI paling besar disangkakan aparat adalah ketidaksesuaian dengan ketentuan juga terkait harga alias modus mark up biaya.

Padahal, telah banyak perusahaan yang memiliki standar panduan untuk proses pengadaan TI (90%). Dari presentase tersebut, baru 67% yang merasa sudah memiliki standar panduan yang lengkap.

Dari angka itu pula telah banyak perusahaan yang sudah melakukan audit pengadaan TI (84%), bahkan dapat mengaudit hingga durasi 5 tahun sebelumnya. Dan hasilnya memang temuan audit paling banyak bermasalah pada kontrak dan SLA (service level agreement) .

Sumber: Tren Pengadaan Teknologi Informasi 2017: How Low Can You Go ? pada 27-28 Oktober 2016.Foto: Sharing Vision
Sumber: Tren Pengadaan Teknologi Informasi 2017: How Low Can You Go ? pada 27-28 Oktober 2016.


Solusi Singkatnya

Lalu apa yang harus dilakukan pada era pemberantasan KKN (dan kini bertambah jargon pungli) oleh para eksekutif dan atau praktisi TIK? Apakah lebih baik diam saja, sehingga merugikan masyarakat itu sendiri karena tiada kualitas layanan terjaga apalagi inovasi?

Prinsipnya, jika melihat pengalaman pendampingan kami, sporadisitas penegakan hukum membuat pengadaan TIK dalam 15 tahun silam pun bisa dibuka kembali. Maka itu, kata kuncinya adalah tegakkan integritas sejak dini. Jangan pernah ada niat KKN!

Setelah itu, hal penting lain yang harus dilakukan adalah mayoritas responden tidak memiliki asumsi perkiraan harga sendiri dalam pengadaan TIK itu, sehingga proses pengadaan menjadi tidak jelas dan harga akhirnya terkesan digelembungkan.

Kita paham bahwa relativitas dan spektrum pengadaan TIK itu sangatlah luas. Terutama di bidang perangkat lunak dan konsultan proyek yang standar acuannya belum ada dan kurang bisa dijabarkan detail. Namun memiliki patokan harga sendiri, dan apalagi disertai dengan inventarasasi survei harga pasar yang komplet, maka cukup bisa kurangi risiko.

Daftar perangkat keras minimal rinci minimal tersedia dalam periode enam bulan sebelum pengadaan. Untuk perangkat lunak, lakukan metode words breakdown structure. Atau fungsi software diinvetarisir detail sehingga bisa dihitung berapa kebutuhan dan biaya yang diperlukan untuk membuat software tersebut.

Terakhir, untuk penghitungan konsultan bisa mengacu standar yang dikeluarkan Inkindo atau Bappenas. Dua kunci langkah pengadaan ini seluruhnya harus tercatat rapih, lengkap, serta diketahui sekaligus ditandatangani seluruh pihak terkait.

Mari diskusikan lebih lanjut cara lain yang efektif dalam workshop 'Trend Pengadaan Teknologi Informasi 2017: How Low Can You Go?' pada 27-28 Oktober 2016 ini.

Semata-mata, agar kita bisa terus terapkan TIK sebagai kunci percepatan pembangunan/bisnis, sekaligus instrumen yang takkan merepotkan posisi para praktisi TIK di kemudian hari. Insya Allah.

*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana adalah Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung. Bisa dihubungi melalui dmahayana@sharingvision.com.

(ash/ash)
TAGS







Hide Ads