Di masa kecilnya, keluarga Alamanda cukup bergelimang harta. Ayahnya seorang pengusaha perbankan, memiliki rumah cukup besar dengan mobil berjejer di garasi.
Namun kehidupan selalu berputar bak roda pedati. Ketika ayahnya terkena stroke, sedikit demi sedikit harta yang dimiliki terkuras habis untuk biaya pengobatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini membuat rencana kuliah Ala di luar negeri hancur seketika. Padahal ayah, ibu dan kakaknya merupakan lulusan luar negeri, demikian pula para sepupunya. Malang bagi Ala, harapan untuk kuliah di Universitas Indonesia pun ikut kandas. Krisis keuangan yang menimpa keluarganya tidak mampu membiayai ujian masuk.
"Ibu saya tidak punya uang untuk mendaftar SPMB, waktu itu sebesar Rp 150 ribu," kenangnya.
Namun Ala remaja tidak lantas patah semangat. Ia putar otak agar bisa mencicipi bangku kuliah. Ia lantas berjualan DVD bajakan."Dulu suka desain, terus beli DVD bajakan photoshop top secret. Akhirnya terpikir untuk menjual DVD tutorial," ujarnya.
Karena dari kecil ia sudah akrab dengan teknologi, Ala pun memasarkan DVD tersebut lewat media sosial yang populer saat itu, Friendster.
"Tiap hari saya cari orang yang sukanya desain, saya kirim pesan ke semua. Friendster dulu membatasi 100 pesan per hari," cerita wanita yang doyan membaca ini.
Pemasukan Ala pun didapat dari mengajar privat anak SD dan SMP. Lagi-lagi ia memanfaatkan teknologi untuk mempromosikan jasanya itu.
"Saya pake robot untuk ngeblast iklan baris online. Bisa 10 anak tiap minggu. Satu kali datang Rp 70 ribu, lumayan untuk anak kuliahan," ujarnya.
Es Potongroyong
Karier Ala yang cemerlang mendatangkan pundi-pundi uang yang tidak sedikit. Jerih payahnya mampu membeli dua unit mobil Mercedes Benz. Walau demikian ia merasa kurang sepenuhnya bahagia.
"Masuk mobil mercy memang keren, kayak dalam pesawat. Tapi kebahagiannya sesaat. Seminggu pakai itu mobil rasanya biasa aja. Kebahagiaan yang lebih malah saya dapati ketika saya bisa membahagiakan orang lain," ujarnya.
Salah satu yang dilakukannya membantu para startup lokal agar dapat maju dan berkembang. Ia lantas meninggalkan posisi Vice President di Go-Jek dan bergabung dengan Kibar Kreasi, perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan dan pengembangan ekosistem startup digital untuk mewujudkan hal tersebut.
"Sebenarnya banyak yang menawarkan saya untuk bergabung, tapi saya memilih Kibar karena sevisi dengan saya untuk membangun bangsa ini," tutur Ala.
"Saat Hari Kartini lalu, ibu saya berpesan selama ini saya sudah membimbing anak-anak di Jakarta dan Jogja, jangan lupa lho anak-anak yang di pelosok yang belum tersentuh internet. Ini saatnya saya mewujudkan pesan tersebut," yakinnya.
Wanita berkacamata ini pun tengah menggulirkan program Es Potongroyong. Program ini mengajak relawan untuk membantu anak jalanan mandiri dan dapat mewujudkan cita-cita mereka.
"Ini ajaran ayah saya. Beliau semasa hidupnya sering membantu orang. Ketika kami mengalami kesusahan, banyak bantuan yang datang," katanya.
Mengejar Gelar PhD
Ala masih menyimpan mimpi yang ingin segera diwujudkannya. Ia ingin kuliah kembali mengambil gelar PhD di luar negeri.
"Pengen ngambil neuroscience di Stanford," katanya.
Mimpinya itu sempat tertunda saat dirinya di Go-Jek. Pasalnya Nadiem tidak memberikan izin.
"Dari ngomongnya pelan, email pakai kata-kata inspiratif, sampai marah yang intinya gak ngizinin mau kuliah lagi," ungkap Ala.
Tapi kini ia ingin segera mewujudkan mimpinya itu. Ia berharap ada lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP) ada yang memberikannya beasiswa.
"Mudah-mudah LPDP mau memberikan beasiswa kepada saya. Pengennya tahun depan kalau dapet beasiswa, biar cepat balik ke Indonesia dan jadi Menteri," tutup wanita energik ini. (afr/ash)