Google Bermasalah, Mastel Tak Mau Tegur Anggotanya
Hide Ads

Google Bermasalah, Mastel Tak Mau Tegur Anggotanya

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Selasa, 20 Sep 2016 07:07 WIB
Foto: Andhika Akbarayansyah
Jakarta - Google yang tengah tersandung kasus pajak, ternyata telah terdaftar menjadi anggota dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Lantas, apa sikap dari asosiasi itu?

"(Google) sudah jadi anggota (Mastel)," kata Ketua Umum Mastel Kristiono dalam perbincangan dengan detikINET yang dikutip, Selasa (20/9/2016).

Meski Google saat ini tengah terbelit kasus pajak oleh pemerintah Indonesia, namun Mastel ternyata tak akan memberikan teguran atau sanksi terhadap anggotanya itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mastel tidak pada posisi menegur, namun kita akan mencoba mendiskusikan masalah tersebut dan mencari jalan keluarnya. (Tapi, Mastel dan Google) belum ada pembicaraan," lanjutnya.

Seperti diketahui, perburuan pajak terhadap Google di Indonesia sejatinya telah dimulai saat Menteri Keuangan masih dijabat Bambang Brodjonegoro pada April 2016 lalu.

Dalam penyelidikan awal, Google sudah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri, tepatnya di KPP Tanah Abang III dengan status PMA sejak 15 September 2011. Google juga sebagai dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura.

Aksi Bambang ternyata dilanjutkan oleh Dirjen Pajak Kemenkeu Ken Dwijugiastead yang mengaku sudah berkomunikasi dengan para petinggi dari raksasa internet tersebut dan rencananya Chief of Finance Officer Google akan datang ke Indonesia untuk mengklarifikasi isu pajak perusahaannya di bulan September.

Namun, suasana yang sepertinya adem mendadak panas karena Google menolak investigasi terhadap pembayaran pajaknya di Indonesia. Alhasil, Direktorat Jenderal Pajak mempertimbangkan mengambil langkah lebih keras kepada Google yang tak hanya menolak diperiksa, tetapi juga tak terima ditetapkan sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) yang seharusnya membayar pajak kepada negara.

Pemerintah memiliki kepentingan terhadap Google jika merujuk kepada data yang dimiliki Kementrian Komunikasi dan Informatika. Google adalah salah satu pemain kakap di bisnis iklan digital Indonesia.

Belanja iklan online Indonesia pada 2015 lalu mencapai USD 800 juta atau lebih dari Rp 10,5 triliun. Sementara di 2016 diperkirakan peningkatan yang jauh lebih signifikan atau bisa tembus USD 1 miliar atau sekitar Rp 13 triliun. Sebagian besar atau sekitar lebih dari 75% masuk ke Google dan Facebook.

Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara mengatakan Google dalam transaksi iklan langsung ke kantornya di Singapura, bukan Indonesia.

"Kalau di sisi Google, yang subjek kepada pajak itu bukan Google Indonesia. Karena Google Indonesia bukan berbisnis iklan. Yang bisnis iklan adalah Google Singapura," kata Rudiantara kepada detikINET.

Dari paparan Menkominfo, wajar saja Ditjen Pajak meradang. Jika hanya sebagai kantor perwakilan, pajak yang bisa dikenakan ke Google sesuai pasal 15 UU PPh sekitar 0.44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.

Angka akan berbeda jika diperlakukan sebagai BUT. Potensi pajak yang bisa ditarik diantaranya wajib pajak badan dalam negeri 25%, dan kewajiban-kewajiban lain terkait, misalnya PPN.

Dalam catatan, tak hanya di Indonesia Google mencoba meminimalkan pembayaran pajaknya atau dikenal dengan istilah tax planning. Di Italia, Google diminta untuk membayar pajak 300 juta euro atau setara Rp 4,4 triliun pada awal 2016. Nilai itu telah dikalkulasi dari pendapatan rata-rata Google selama enam tahun berbisnis di Italia.

Dalam kacamata pemerintah Italia, Google telah melakukan manipulasi pajak dengan mengalokasikan pendapatan yang diperoleh di Italia ke Irlandia. Dampaknya, pajak yang disetor Google ke Italia menciut jadi 2,2 juta euro atau Rp 32 miliar pada 2015 lalu.

Di Inggris, Google sepakat membayar pajak sebesar 130 juta poundsterling atau Rp 2,2 triliun pada Februari 2016. Nilai 130 juta poundsterling dibayar Google untuk menebus pajak selama 10 tahun. Padahal, pendapatan Google Inggris dalam rentang waktu itu ditaksir mencapai 7,2 miliar poundsterling atau Rp 123 triliun.

Di Prancis, Google membawa sebagian besar pendapatannya ke Irlandia. Pemerintah Perancis menuntut Google membayar 1,6 miliar euro atau setara Rp 23,5 triliun.

Jika dilihat modus Google melakukan aggressive tax planning atau mencari kelemahan ketentuan pajak di satu negara semuanya sama yakni mengalokasikan pendapatan ke sebuah negara yang lebih rendah dan ramah soal pajak. Dalam kasus Indonesia, Singapura menjadi transitnya.

Mastel sendiri dalam posisi ini lebih condong membela kepentingan pemerintah. Menurut Kristiono, semua pihak yang punya usaha di wilayah hukum suatu negara dan memperoleh manfaat ekonomi dari padanya, tentunya wajar kalau harus membayar segala kewajibannya.

"Termasuk pajak yang harus dibayar sesuai ketentuan yang berlaku. Agar terjadi fairness terhadap usaha yang sama yang dilakukan pihak lain. Dan pastinya, badan usaha yang menjunjung tinggi kaidah governance yang baik akan tunduk dan taat pada ketentuan perundangan yang berlaku," tegasnya. (rou/rou)
Berita Terkait