Konten Nyeleneh Internet Indonesia, Tanggung Jawab Siapa?
Hide Ads

Konten Nyeleneh Internet Indonesia, Tanggung Jawab Siapa?

Ardhi Suryadhi - detikInet
Jumat, 16 Sep 2016 10:36 WIB
Foto: GettyImages
Jakarta - Internet, aplikasi, dan layanan digital lainnya memang memanjakan dan banyak memberi manfaat. Namun ketika ada konten nyeleneh yang mengarah negatif, ini menjadi tanggung jawab siapa?

Apakah tanggung jawab tersebut dieemban oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)? Direktur Eksekutif ICT Watch Donny B.U., tak sepenuhnya sependapat dengan jawaban tersebut.

Hal ini kemudian berpengaruh terhadap lambat cepatnya respons Kominfo ketika ada laporan munculnya konten atau aplikasi negatif yang wara-wiri di dunia maya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Telat gak telat, itu kan perlu ada acuan. Jadi sesuatu dapat dikatakan telat atau on time atau cepat pun lambat, harus ada acuan yang disepakati bersama," sebutnya saat berbincang dengan detikINET.

"Seperti masuk sekolah saja. disepakati jam 7 itu jamnya. Ya semua mengacu ke situ. Jadi wajar gak wajar pun, gak ada acuannya yang menjadi SOP (standart operational prosedure)," lanjut Donny.

Protap alias prosedur tetap inilah yang harus disepakati bersama dan bersifat ajeg. Bukan malah tentang siapa bertanggung jawab atas apa, tetapi juga soal timing alias durasi penanganan atas adanya laporan atau kasus yang muncul.

"Bicara soal penanganan kasus, aku sih gak melihat bahwa tanggung jawab (sepenuhnya) ada pada Kominfo," Donny berpendapat.

Pasalnya, kementerian yang saat ini dipimpin oleh Menteri Rudiantara itu bukanlah kementerian teknis. Dimana urusan sejatinya bukan pada mengevaluasi konten.

Hal ini berbeda dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk broadcasting atau Lembaga Sensor Film (LSF) untuk dunia perfilman yang keduanya diatur oleh Undang-undang.

"Pertanyaannya, untuk konten internet siapa? Gak ada, atau belum ada yang benar ajeg diamanatkan oleh UU," tegasnya.

Jadi ketika ada laporan tentang beredarnya konten dan aplikasi negatif di Indonesia maka sebenarnya kerja banyak pihak. Sedangkan untuk cepat lambatnya penanganan, ya bagaimana kolaborasi stakeholder terkait.

Sementara jika mau ajeg, semua pemangku kepentingan diimbau untuk duduk bersama dan menyusun prosedurnya. Dan kalau mau lebih ajeg lagi pihak yang diberi kewenangan dan bisa dimintai tanggung jawab — tidak adhoc seperti sekarang —dimasukkan ke Undang-undang atau regulasi lain yang kuat.

"Macam adanya LSF dan KPI tersebut. Yang jelas kan macam KPI dan LSF multistakeholder juga, bukan single handling and decision by government," Donny memaparkan.

Jadi yang diusulkan adalah, ada lembaga yang berdisi sendiri yang benar-benar fokus mengurus konten internet. Lantas, lembaga baru ini sebaiknya berada di bawah siapa?

"Bisa di bawah siapa atau tidak dibawah siapa, tidak menentukan akan independen atau prosedurnya akan transparan dan akuntabel atau tidak," tepis Donny.

"Namun yang penting adalah multistakeholder timnya, independen posisinya, transparan dan akuntabel prosedurnya, demokratis dan inklusif saat pengambilan keputusan," pungkasnya.

Penanganan tentang laporan konten dan aplikasi negatif ini mengemuka setelah dirasa lambatnya penanganan Kominfo dan tim Panel Konten Negatif terhadap peredaran aplikasi LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender).

Blued — aplikasi gay yang dimaksud —sejatinya sudah dilaporkan ke Kominfo sejak bulan Juli lalu. Namun sampai sekarang, aplikasi tersebut masih saja bebas wara-wiri di ranah digital Indonesia. Bahkan berani membuka lowongan pekerjaan di Jakarta, seakan menantang pemerintah.

(ash/fyk)
Berita Terkait