Ketika pertama kali berdiri, bisnis transportasi konvensional mungkin tak akan menyangka kalau Uber bakal sedemikian mengancam. Perusahan yang berbasis aplikasi ini secepat kilat menlampaui valuasi perusahaan-perusahaan transportasi di Amerika Serikat yang sudah lama berdiri. Bahkan juga termasuk di negara-negara lainnya di mana Uber menggelar operasinya, termasuk Indonesia.
Kalau menurut Wikipedia, per akhir tahun 2015 lalu valuasi Uber sudah mencapai angka USD 62,5 miliar atau setara dengan Rp 833 triliun (USD 1 = Rp 13.300). Jadi wajar kalau dengan valuasi sebesar itu Uber mulai berlagak layaknya perusahaan besar lainnya. Berdasarkan kabar yang beredar, Uber disebut-sebut ingin ikutan menari di lantai bursa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika diajukan pertanyaaan soal kemungkinan waktunya, apakah dua tahun, tiga tahun, atau malah baru lima tahun kemudian, Kalanick enteng menjawab, "no idea," kepada CNBC.
Fenomena Uber
Di tengah booming layanan Uber, perusahaan ini memang boleh menepuk dada. Terlepas dari baik atau buruknya efek yang diberikan Uber ke masyarakat, permasalahan terbesar yang kerap menghadangnya adalah soal regulasi.
Tentu saja kebanyakan yang menyerang adalah perusahaan taksi konvensional yang merasa ceruk pasarnya digerogoti Uber. Puncaknya, demo besar-besaran menentang Uber pun terjadi. Setelah kisruh yang terjadi di Paris, Perancis, yang terbaru terjadi di Jakarta, Indonesia.
Puluhan ribu sopir taksi berdemo menuntut pemblokiran Uber. Alhasil, beberapa titik penting di Jakarta dibikin lumpuh oleh para sopir taksi yang sengaja memarkirkan kendaraannya di tengah jalan. Namun tak bisa dipungkiri, yang namanya teknologi pasti akan terus berkembang seperti halnya kehadiran Uber.
Itulah yang lantas jadi alasan Kominfo selaku regulator menolak pemblokiran Uber. Tapi bukan berarti Uber dilepas begitu saja, agar dapat mengikuti aturan yang berlaku penyedia layanan transportasi ini diwajibkan menjalin kerjasama dengan perusahaan rental resmi atau koperasi yang tentu saja berbadan hukum.
Persyaratan lainnya adalah dengan memastikan semua kendaraan dalam layanan Uber telah lolos Uji Kelayakan Kendaraan (KIR). Dan pastinya juga memastikan semua pengemudi memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM A Umum).
Beralih dari soal regulasi, sejak pertama kali hadir daya tarik Uber memang terletak dari tarif yang ditawarkannya. Pengguna diiming-imingi membayar jauh lebih murah dibanding pakai taksi konvensional untuk mencapai jarak perjalanan yang sama.
"Rencana Uber itu sederhana, mereka ingin memasang tarif serendahnya untuk meningkatkan permintaan, dengan menarik minat konsumen yang dulunya memakai mobil sendiri atau transportasi umum. Dan untuk melakukannya, mereka mau membakar banyak uang," tulis Evgeny Morozov di media Guardian.
'Membakar uang' di sini maksudnya adalah Uber menyodorkan pembagian yang benar-benar menguntungkan, baik bagi penggunanya sendiri maupun driver rekanannya. Lantas dari mana Uber dapat untung?
Kalau kata Analis Andrew Leonard dari media Salon, Uber memang kelihatannya tak merasakan untung, namun semuanya menjadi terbalik tatkala pembesutnya mengetahui cara menghindari pajak, regulasi, dan asuransi yang kerap menjebak kompetitor tradisional.
"Teknologi baru ini memang memudahkan, namun layanannya menjadi sangat menguntungkan ketika pembuatnya mengetahui cara untuk menghindari pajak, regulasi atau asuransi yang menjebak kompetitor tradisional," bebernya.
Apapun itu, apakah lewat Uber, Grab, maupun Go-Jek, teknologi kini benar-benar menunjukkan tajinya. Jadi jargon "If u can't beat them, join them," sepertinya harus mulai dipertimbangkan oleh perusahaan-perusahaan konvensional agar mampu berkompetisi.
(yud/ash)