Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Kolom Telematika
Kita dan Perang Dunia Mutakhir
Kolom Telematika

Kita dan Perang Dunia Mutakhir


Penulis: Dimitri Mahayana - detikInet

Dimitri Mahayana (Foto: Dok. Pribadi)
Jakarta - Di lingkungan penulis, percakapan tentang aksi demo taksi reguler awal pekan lalu masih terus bergulir. Sebagai praktisi teknologi informasi komunikasi (TIK), isu besarnya masih tentang betapa beratnya kendala yang dihadapi inovator di negeri ini.

Di kutub lainnya, sebagai sebuah hasil interaksi dengan banyak kalangan, termasuk para sopir, eksistensi profesi eksisting pun malah terdesak berbagai terobosan TIK. Jadi, kita belum menemukan persenyawaan yang baik, yang terjadi masih muncul dikotomi. Β 

Situasi ini malahan bisa makin tajam jika mengingat kasus friksi taksi minggu lalu hanyalah contoh kecil, atau bahkan awal dari letupan besar lainnya ke depan. Bagaimana pengaruh e-commerce pada pasar fashion di Pasar Baru Bandung, atau pasar tradisional sepatu Bandung di Cibaduyut?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana pengaruh Agoda.com, Booking.com, Traveloka.com dan yang sejenisnya pada industri travel dan pariwisata konvensional? Bagaimana pengaruh lanjutan OTT (Over The Top) dengan produk-produk seperti WhatsApp, Line, dst terhadap operator seluler?

Apakah industri telekomunikasi nasional bisa bertahan dengan migrasi besar-besaran penggunaan SMS masyarakat ke aplikasi chatting? Siapa diuntungkan siapa, ketika mereka yang berinvestasi lebih banyak ternyata kini sekadar menjadi 'perlintasan'?

Saat ini, industri perbankan masih berkibar. Beberapa bank nasional mencatatkan pertumbuhan yang mantap. Apakah pertumbuhan ini akan terus bertahan ketika 'hantaman' berbagai industri finansial online berbasis aplikasi mulai muncul?

Kita kemudian menjadi bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya peran aktif pemerintah dalam memproteksi pasar eksisting yang konvensional terhadap booming perdagangan daring ini? Sudahkah bergerak aktif, atau melakukan pembiaran?

Pertanyaan besarnya di akhir adalah, apakah kita yakin bahwa friksi sopir taksi tersebut tidak berlanjut kepada sektor kehidupan lainnya di Indonesia? Atau malah kita yakin, semuanya menunggu bom waktu ketika regulator pun belum antisipatif?

Di mata penulis, inilah diskursus perang mutakhir (war between world) yang harus kita hadapi bersama β€” dan demo taksi adalah gong pembukanya. Suka tidak suka, kita semua adalah termasuk bagian yang sadar ikut, termangu, atau malah terjebak pada pusaran tersebut.

Disadari atau tidak, ketika semua dari masyarakat Indonesia kian hanyut dalam digital lifestyle (setidaknya para pembaca detikinet), maka kita sudah tercakup frase ini: War of the worlds 2016-2017, Clash between online business and offline business.

Untuk itulah, penulis mendorong keras β€” untuk tidak menyebut memprovokasi -- para pemangku agar segera bertindak aktif menghadapi ini semua. Percayalah bahwa bukan hanya Kementerian Perhubungan yang harus sibuk mengaturnya.

Dengan aplikasi dan fungsi TIK yang masuk seluruh sendi kehidupan, seluruh kementerian harus menjemput bola dengan menerawang, memprediksi, untuk kemudian mengatur dengan baik dan adil pada semua medan pertempuran yang akan terjadi.

Penulis mendesak regulator mencermati betul hak kedaulatan NKRI dan net neutrality di dalamnya. Tentukan dengan jelas data off shoreΒ  (di luar negeri atau tidak jelas di mana) dengan kerahasiaan negara dan kerahasiaan industri di Indonesia.

Jika para investor asing yang raksasa ini hanya sekedar leluasa berusaha di tanah air tanpa memberi nilai tambah lokal yang benefisial, maka lagi-lagi kita menahbiskan diri sebagai pasar super gemuk yang hanya bisa menonton kejayaan inovasi TIK asing!

Regulator semestinya pula menjangkau bukan hanya dari sisi penetrasi aplikasi, tapi juga aktif pada filterasi konten asing yang membahayakan ipoleksosbudhankam bangsa. Bila pemerintah sudah berani memblok Netflix, mengapa belum berani memblok banyak situs radikalisme?

Jika prinsip dasar ini tidak dilakukan, percayalah bahwa perang mutakhir ini akan banyak kita sekedar padamkan (fire fighting) ketika baranya memuai atau bahkan membakar saudara kita sebangsa β€” seperti dirasakan para sopir taksi?

Kita tentu berharap lebih dari itu, bukan regulator yang selalu terengah-engah memadamkan konflik horizontal, tapi pemerintah yang memberikan third way (meminjam istilah ilmuwan Anthony Giddens) terhadap war between world yang tengah terjadi.

Third way mengacu pada penguasan peta masalah secara baik dan benar. Pihak terkait konflik dipetakan, dampak terprediksi jauh-jauh hari, serta pengambilan keputusan ada di pucuk pimpinan tertinggi karena subtansi masalahnya terlanjur terlalu menyeluruh.

Kita juga meminta posisi pemerintah (stance) yang ajeg sedari awal, bukan sekedar menentukan sikap setelah terdesak keadaan. Tapi selalu bersikap visioner, untuk kemudian menentukan stance poros keadilan yang menyeimbangkan benefit nasional dan peran global.

Tiongkok adalah contoh baik dalam hal ini. Sikap ajeg yang tegas dan visioner membuat mereka berani memblokir Google dkk di negerinya dan mewajibkan Baidu, Alibaba, dst. Hasilnya? Mereka bukan hanya raksasa perdagangan konvensional, tapi kini juga raksasa daring!

Sekali lagi, mari antisipasi seluruh perang dunia mutakhir ini, sebelum gaduh dan konfliknya lebih banyak mendera bangsa ini ke depan. Mari ramai-ramai menjadi pelaku thirdway di negeri ini, dan reduksi terus posisi peran "pemadam kebakaran" di masa mendatang.

*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana adalah Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung. Bisa dihubungi melalui dmahayana@sharingvision.com. (ash/ash)
TAGS







Hide Ads