Sistem pemilihan kepala daerah, Gubernur dan Bupati/Walikota, yang selama pasca reformasi berlangsung secara sporadis dan 'sangat terbuka' terbukti menimbulkan banyak hal negatif yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Munculnya politik dinasti dan politik uang yang luar biasa, menyebabkan kualitas Kepala Daerah terpilih jauh dari yang diharapkan. 50% lebih Kepala Daerah terpilih, dan tidak terhitung lagi anggota DPRD yang harus berurusan dengan penegak hukum, baik Kejaksaan atau KPK, terseret tindak pidana korupsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai salah satu upaya untuk 'mengawal' Pilkada serentak ini, Komisi Pemilihan Umum didukung oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Code4Nation dan Data Science Indonesia serta sejumlah pihak lain, pada tanggal 8 November 2015 lalu kembali menyelenggarakan Apps Challenge Code for Vote yang telah memasuki seri ke-4.
Kali ini penyelenggara menantang para peserta, yang terdiri dari lebih 40 individu/kelompok, untuk menciptakan aplikasi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin data-data terkait pemilihan umum yang dimiliki oleh KPU yang telah dibuatkan Application Programming Interface (API)-nya untuk diakses oleh publik.
Ada empat kategori yang dilombakan, yaitu: Kategori Umum, Kategori Pemanfaatan Data C1, Kategori Perempuan dan Kategori Disabilitas. Penulis sendiri terlibat sebagai anggota tim juri mewakili Data Science Indonesia.
Terlepas dari para pemenang yang telah terpilih, yang bisa dilihat daftarnya di sini , ada sejumlah catatan yang menarik untuk dicermati dari penyelenggaraan event Apps Challenge kali ini.
Pertama, kita patut acungkan dua jempol tinggi-tinggi kepada Komisi Pemilihan Umum yang telah mendukung penuh keterbukaan data pemilu melalui API yang disediakan.
Memang masih ada sejumlah kekurangan yang membuat Apps Challenge kemarin dirasa kurang maksimal, seperti belum tersedianya foto kandidat peserta pilkada, tapi banyaknya API yang telah disediakan menunjukkan KPU serius dalam menjalankan keterbukaan informasi publik.
Selain itu keterlibatan aktif para Komisioner, baik sebagai fasilitator maupun sebagai juri, dalam event teknologi ini menjanjikan harapan positif bahwa tidak terlalu lama lagi kita akan memiliki satu sistem pemungutan suara yang memanfaatkan teknologi informasi secara maksimal diseluruh aspek nya.
Kedua, dari sisi aplikasi, waktu dua minggu yang diberikan oleh panitia tentu tidak memadai untuk membuat sebuah aplikasi yang siap pakai. Tapi dengan keterbatasan tersebut, cukup banyak visi kreatif yang dimunculkan oleh peserta Apps Challenge.
Mayoritas peserta memang menyodorkan tema 'Sistem Informasi' dengan memanfaatkan API yang disediakan, untuk mempermudah calon pemilih untuk mengakses informasi terkait kandidat.
Namun, ada sejumlah fitur menarik yang ditawarkan oleh beberapa peserta, seperti salah satu pemenang yang menawarkan fitur 'Perbandingan Kandidat'. Dimana dengan fitur ini, pengguna bisa memilih dua kandidat, lalu aplikasi akan menampilkan komparasi head to head antara kedua kandidat itu, baik dari sisi biodata, visi misi dan janji-janji.
Soal janji ini juga menjadi perhatian khusus salah satu pemenang, yang membuat aplikasi khusus kompilasi dari janji-janji para kandidat. Harapannya dengan aplikasi ini, bisa menjadi kontrol sosial bagi kandidat yang telah terpilih nantinya, untuk tidak mudah melupakan janji-janji manisnya selama kampanye, seperti yang sering dipertontonkan selama ini.
Tapi visi aplikasi yang paling menarik menurut penulis adalah yang ditawarkan oleh seorang peserta yang sedang studi di Korea Selatan. Peserta ini menawarkan solusi menggunakan NLP (Natural Language Processing), untuk menganalisa deskripsi dari visi dan misi.
Seperti kita tahu, umumnya visi dan misi adalah untaian kata-kata yang kadang cukup panjang dan njlimet dan seringkali membuat yang membaca tidak paham, apa sebetulnya yang ingin di sampaikan oleh pemilik visi/misi ini.
Nah, dengan menggunakan NLP, teknologi yang juga digunakan oleh super computer IBM Watson, aplikasi ini akan menganalisa deskripsi visi/misi dari tiap kandidat, lalu memunculkan isu-isu apa saja yang menjadi perhatian kandidat, beserta prioritas berdasarkan scoring dari jumlah kata yang menyebutkan isu itu di dalam visi/misi.
Walaupun aplikasi ini gagal menjadi juara, tapi secara visi paling advance dalam menggunakan teknologi. Jika dikembangkan lebih lanjut, aplikasi NLP ini bisa mendorong kandidat untuk membuat deskripsi visi misi yang lebih berarti.
Ketiga, kalau ada hal yang kurang yang bisa ditemui dari kompetisi ini yaitu kenyataan bahwa hingga saat ini masih sangat sedikitnya developer dengan kemampuan teknis cukup bagus yang berjenis kelamin perempuan.
Dari 42 peserta, yang masuk kategori perempuan hanya kurang dari lima kelompok/individu. Ini hendaknya menjadi perhatian serius dari kampus-kampus teknologi informasi di perguruan tinggi, untuk bisa lebih memberdayakan kaum perempuan dalam hal pengembangan aplikasi.
Mungkin perlu dilakukan modifikasi dari kurikulum atau mekanisme pemberian tugas pemrograman yang bisa mendorong perempuan untuk berperan lebih aktif. Karena di luaran sana, cukup banyak developer perempuan memegang peran kunci di vendor-vendor IT besar di dunia. Bahkan penulis pernah bertemu dengan sejumlah hacker-hacker sakti dari Eropa timur, yang juga berjenis kelamin perempuan.
Dari gelaran Apps Challenge Code for Vote yang diselenggarakan KPU ini setidaknya kita bisa berharap bahwa aplikasi yang dihasilkan dari kompetisi ini bisa membantu calon pemilih untuk lebih mudah mengakses data-data dari kandidat yang akan mereka pilih.
Dengan presentasi data-data yang lebih menarik, diharapkan bisa membantu pemilih untuk lebih cerdas dalam menentukan pilihan, tidak lagi hanya berdasarkan kedekatan emosional. Kalau ini bisa terwujud, tentunya kualitas demokrasi kita akan semakin meningkat dan menghasilkan kepala daerah yang lebih berkualitas dan bebas masalah di kemudian hari.
Mochamad James Falahuddin
Praktisi Teknologi Informasi
@mjamesf
(rou/rou)