Celana pendek yang dikenakan Sergey Brin, sang pendiri Google, saat menyambut rombongan menterinya Presiden Joko Widodo dan sejumlah CEO operator seluler dari Indonesia, sempat jadi kontroversi.
"Saya sempat ketemu Sergey Brin yang katanya dibilang kurang ajar karena pakai celana pendek," ujar Menkominfo Rudiantara sambil tertawa ketika bercerita kepada detikINET tentang kunjungannya ke markas Google di Mountain View, California, Amerika Serikat.
Pertemuan dengan Sergey Brin terjadi minggu lalu saat menteri ikut menyaksikan kesepakatan uji coba teknis Project Loon, antara Google bersama Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya mah nggak terlalu musingin. Bukan masalah orang kayanya, mereka memang karakternya begitu. Ya memang barangkali ada orang yang masih melihat formalitas itu penting, tapi buat saya sih nggak masalah," kata menteri yang santai-santai saja dengan gaya busana bos Alphabet itu..
Baca juga: Gaya 'Semau Gue' Orang Nomor 1 Google
Sergey Brin memang nyentrik. Ia memang tak terlalu mementingkan gaya busananya karena lebih memilih fokus untuk berinovasi. Melalui Google X di bawah kendali Alphabet, Brin jadi otak utama dari proyek gila bernama Project Loon alias balon raksasa yang akan memancarkan internet lewat udara.
Balon itu rencananya akan segera diterbangkan di atas bumi Indonesia, khususnya di daerah terpencil yang belum kebagian akses internet. Pilot project untuk testing ini akan menggunakan spektrum frekuensi 900 MHz yang akan disediakan oleh Telkomsel, Indosat, dan XL.
"Nanti balonnya itu akan terus muter, ada ratusan. Ini seperti BTS (base transceiver station) bergerak di udara. Kalau kita pas nelepon, biasanya kita kan yang bergerak (mobile). Nah, kalau ini, BTS-nya yang gerak dan pindah dari satu cell ke cell coverage yang lain," papar menteri.
BTS bergerak ini nantinya akan disediakan oleh Google. "BTS-nya punya Google. Ini seperti subset, seperti bagian BTS-nya operator. Kalau sebelumnya kan (BTS existing di darat) beli dari Ericsson, Huawei, tapi ini nggak beli, cuma sewa saja."
"Nanti BTS-nya gantian, BTS ini yang bergerak. Tapi gateway-nya ke operator telekomunikasi. Google tuh nggak punya pelanggan. Nanti kan ada balon berikutnya," kata menteri sembari menegaskan ini hanya uji coba teknis saja.
"Sama Google cuma technical test, model bisnisnya belum ada. Kita nggak tahu mesti bayar berapa untuk berapa ribu balon. Saya tanya ke Google dan operator pun mereka juga belum tahu model bisnisnya seperti apa," lanjut Chief RA, panggilan akrabnya.
Dalam catatan, Google telah menghitung, Indonesia membutuhkan sekitar 6.000 balon jika ingin seluruh area Nusantara kebagian sinyal dari balon udara yang terbang 20 kilometer di atas permukaan laut.
"Kalau semua pakai balon Google, bisnis menara bersama bisa habis dong," komentar menteri. "Pada akhirnya, kita lihat efektivitas dan efisiensi saja. Saya tanya ke Google, rata-rata per gigabit berapa? Kalau dari sisi konsumer, pasti nggak mau tahu internetnya pakai balon Google atau bukan."
"Saya tanya, satu giganya berapa? Dia (Google) sendiri juga belum tahu bisa kasih berapa, kalau sama dengan yang sekarang kan harusnya nggak apa-apa. Tapi kita kan belum bisa dikasih tahu, jadi ya technical test saja dulu. Ini masih panjang," lanjut Rudiantara.
Selain balon itu nantinya berkeliling lintas negara, ada satu lagi yang jadi kekhawatiran. Mengingat masa edar balon ini cuma 100 hari, bagaimana jika nantinya balon itu jatuh atau masuk ke jalur pesawat? Lalu, apa perlu izin khusus?
"Apa perlu izin, ada dong. Izin jalur. Seperti ini di atas pesawat ada jalurnya. Makanya, kita ini baru masuk, kita juga mau tahu. Bagi kita pilihannya, daripada (Google) cuma lewat-lewat saja, mending kita masuk saja. Jadi kita tahu teknologinya seperti apa, kita bisa belajar," jelas menteri, diplomatis.
Lantas bagaimana dengan keamanan data? Menteri sendiri menilai, masalah keamanan data tak perlu terlalu dikhawatirkan. Karena peranan utama untuk akses telekomunikasi tetap ada di operator
"Memangnya data-data siapa, pelanggaan-pelanggan siapa. BTS (Google) nggak bisa main capture data karena harus turun ke gateway, dan backhaul-nya punya siapa, itu punya operator kok," pungkas Chief RA. (rou/ash)