Akibat serangan DDoS itu, server layanan pengiriman pesan itu mendapatkan lalu lintas data palsu sebesar 200 Gbps. "Ini seperti mendapatkan sekitar 200 miliar orang dipaksa masuk ke dalam bus setiap detiknya," jelas Telegram dalam blognya.
Serangan DDoS itu secara spesifik menargetkan pengguna Telegram yang berada di Asia Pasifik. Dalam pernyataan resminya, Telegram menyatakan bahwa serangan tersebut berdampak pada penggunanya yang terletak di Asia Tenggara, Oseania, Australia, dan sebagian dari India.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Telegram memang tak menunjuk secara jelas ke mana tuduhan mereka diarahkan. Namun dengan menyebut Asia Timur, kemungkinan yang mereka maksud antara Line yang populer di Jepang dan KakaoTalk yang besar di Korea Selatan.
"Kami mendengar kalau sejumlah perusahaan tak suka dengan platform baru kami, di mana pengguna bisa menciptakan stiker custom secara gratis yang bisa dipakai oleh semua orang. Dua minggu setelahnya, kami mendapat serangan DDoS, yang membidik kluster Asia Pasifik, jelas Telegram.
Pendiri Telegram Pavel Durov pun angkat bicara mengenai hal ini. Di akun Twitternya Durov menyebut, "Kami belum tahu pasti, jadi kami belum menuduh siapapun. Namun yang jelas seseorang yang sangat kuat di Asia tak senang. Kami belum pernah melihat DDoS dengan skala sebesar dan seefisien ini sebelumnya".
(asj/ash)