Apakah premis ini berlebihan? Mungkin iya bagi kebanyakan orang. Namun sebenarnya tidak, jika kita mengingat Bandung sempat menjadi sumber pasokan global, terutama peranti keras elektronika (embrio industri teknologi komunikasi informasi), khususnya di era tahun 1970-1990.
Bahkan, artefak kejayaannya pun masih ada, meski lebih banyak yang telah tenggelam. Sisa monemuntal itu ada di dua BUMN strategis di Bandung yakni PT INTI dan PT LEN -- keduanya dulu kepanjangan Industri Nasional Telekomunikasi Indonesia dan Lembaga Elektronik Nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
LEN misalnya, kemudian kini eksis lebih karena perangkat elektronik di bidang persinyalan, simulasi pesawat, dan juga merambah renewable energy. Akan tetapi, hajat besar pada industri/jasa teknologi informasi komunikasi nasional sejak akhir tahun 90-an, nyaris tak memberi peran signifikan.
Ini kemudian menggenapkan kisah miris nan usang dari produsen swasta di Bandung, yang juga terjungkal dalam belantara persaingan padahal sempat lama bermitra korporasi internasional, seperti PT. PT. Radio Frequency Communication, PT CMI, PT EN, PT Citra, Telnic, dst.
Harapan tersisa sempat muncul ke PT Quasar Mandiri, pabrikan berbasis di Palasari, Kota Bandung. Jika Anda sempat menggunakan warung telepon di era 90-an, salah satu perangkat telepon terbanyak digunakan di Indonesia adalah Q-Phone yang mereka produksi.
Quasar juga perusahaan lokal pertama yang membuat Private Automatic Branch Exchange (PBAX), kemudian sejak tahun 2000 membuat terminal faks CDMA, PABX, hingga terminal telepon CDMA. Khusus faks CDMA, mereka penemu dan produsen satu-satunya di dunia!
Perusahaan ini bahkan kemudian terjun ke bisnis ISP (Internet Service Provider). Akan tetapi, niat bermain hulu ke hilir ini tak sempat eksis lama. Kini, Quasar sudah tak eksis di Bandung, padahal ratusan karyawan sempat bernaung di bawahnya.
Jadi, kembali ke soal Inas cs di Nightspade, kebanggaan sebagai kreator teknologi khas Bandung dari zaman dulu tetaplah terjaga dengan eksistensi mereka. Jika dulu lebih banyak ke perangkat keras, kini era mutakhir berbasis peranti lunak yang menjadi pertanda kejayaan.
Apalagi, selain Nightspade, Bandung tentu juga dikenal oleh Agate Studio yang juga sama-sama banyak berkiprah di lanskap internasional. Dua pelopor ini kemudian diikuti generasi berikutnya seperti Tinker Games, Whappa Games, Mintsphere, Digital Happines, dan Dongskar Pedongi.
Ada pula nama Hompiplay, Vostrix, Own Games, dan banyak lagi yang belum tercatat. Namun sejumlah data menyebutkan jika pengembang game (gamedev) di kota ini masih terbanyak se-Indonesia, yang mendekati hanyalah Yogyakarta dan Jakarta.
Β
Dalam catatan penulis, gamedev umumnya berlaku seperti Inas cs, yaitu didirikan kawan sekelas yang sebelumnya sangat senang bermain game. Bermodalkan kamar kosan, atau juga garasi rumah, mereka berkreasi dengan membuat permainan yang terispirasi judul populer.
Umumnya mereka membuat game ditujukan untuk gamers lainnya (atau B2C/business to consumer). Meskipun seiring waktu, berkat prestasi kompetisi dan kualitas karya mereka, mekanisme B2B/business to business pun tak bisa dihindari.
Ketika kemudian angel investor masuk, ditambah Bandung memiliki sedikitnya tiga pusat inkubator (Bandung Digital Valley, Bandung Techno Park, dan Baros Information Technology & Creative), maka usahawan muda berbasis konten digital banyak merubah peta.
Jika dahulu banyak yang bersusah payah kuliah pada banyak kampus di Bandung dan kemudian melamar sana-sini jadi karyawan di Jakarta, maka beberapa kini banyak tertarik mengembangkan usaha sendiri berbasis konten digital dengan diawali masih di Kota Bandung juga.
Untuk itulah, entitas ini tak hanya sekadar menjaga kehormatan kota, lebih dari itu juga menularkan spirit berkarya mandiri guna membuka banyak peluang usaha dan pekerjaan bagi lainnya. Bayangkan betapa kerennya CEO belum genap 30 tahun, sudah punya belasan karyawan!
Bandung sebagai pionir teknologi, tak hanya di Tanah Air tapi juga global, adalah entitas yang layak selalu dipertahankan. Karena itulah, bagi penulis, menjadi mengherankan jika kemudian banyak yang malah gusar atau meragukan dengan upaya merintis jalan besar ini.
Misalnya saat ini sedang ramai pertanyaan upaya entitas lainnya asal Bandung, PT Telkom, yang baru membuka data center di Jurong, Singapura. Alih-alih mengapresiasi guliran entitas Kota Kembang di tingkat global, yang terjadi adalah cibiran hingga aneka spekulasi.
Situasi ini tentu disayangkan karena bagaimanapun standar operasional bisnis global sudah demikian mapan, sehingga rasanya tak mungkin bisa dilakukan rekayasa, apalagi sekedar pencitraan. Takkan mungkin lolos skala internanasional jika kualitas abal-abal.
Terlebih, sama seperti Nightspade dan Agate, misalnya, jejak rekam karya adalah segalanya. Jauh sebelum mendirikan di Jurong, data center Telkom sebelumnya sudah ada di daerah Changi dan Tai Seng. Jadi, bertarung tangguh di pasar global sudah lama dilakoni.
Maka itulah, ketika semburat optimisme makin banyak dipertontonkan kreator teknologi Bandung, selayaknya jangan perdalam degradasi kepercayaan sesama anak bangsa. Bukan soal kreasi teknologi informasi komunikasi, ini tentang kebanggaan bangsa di mata dunia yang harus didukung!
*) Penulis, Muhammad Sufyan Abd. merupakan pemerhati bisnis digital dan Dosen Fak. Komunikasi Bisnis Telkom University.
(ash/ash)