Yang paling sederhana tentu saja grup pesan instan, terutama BlackBerry Messenger (BBM) dan WhatsApp (WA), manakala orang Indonesia kekinian rerata bisa tergabung minimal dalam dua grup tersebut: Grup di kantor/sekolah dan grup alumni.
Lantas, beranjak ke platform lain, misalnya media sosial dan atau milis, situasi setipikal terjadi. Menariknya, ke kawan pada grup pesan instan maupun media sosial/milis kerap kali 'loe lagi loe lagi' (4L). Apalagi jika ditambah dengan ikut aktif dalam forum internet.
Apapun subyeknya, forum dalam jaringan (daring) lebih masif dan borderless. Seperti dialami Oppa dkk di id-iPad, id-Mac dan id-AppleiOS, yang memiliki anggota ribuan dengan rentang usia, jenis kelamin, suku, hingga penghasilan sehingga jutaan variasi komunikasi tercipta.
Apalagi jika bicara Kaskus, forum internet terbesar di negeri ini, yang sejak hadir pertama 6 November 1999, setidaknya kini sudah ada tiga juta member dengan trafik sedikitnya 600.000 visitor/hari. Kicau dalam postingan demikian ceriwis! So, kerumunan digital telah demikian lekat dalam hidup kita.
Karena itu, hemat penulis, crowd ini sudah berkembang menjadi virtual community -- sesuatu yang didefinisikan akademisi Swansea University, Inggris, Victoria Wang, sebagai, βSistem percakapan daring berdasarkan teks dan grafik 2D/3D sebagai produk modernitas (transformasi dunia melalui teknologi)".
Alasan lain mengapa bisa dikategorikan komunitas virtual dikarenakan kerumunan ini sudah berlaku sebagai sebuah gemeinschaft (paguyuban). Mau membantu sesama dengan berbagi info cuma-cuma, hubungan menjurus personal meski tak kenal dekat, dan akhirnya ingin kenal intim.
Mereka, meski tak tiap hari bertemu, namun berkat jasa mimin/momod, berusaha menghindari kriteria gesselschaft. Yakni patembayan atau masyarakat yang kehidupan anggotanya lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan, serta memperhitungkan untung rugi.
Internet dan gawai kali ini menunjukkan wajahnya yang ramah dan produktif, ketika banyak orang tersebar, anonim, dan miskin data, kemudian disambungkan kepada sekumpulan orang yang senang berbagi info dengan penanda kesamaan hanyalah merek gawai!
Dalam penelusuran penulis, betapa virtual community bisa sangat berfaedah terhadap kemajuan Indonesia, salah satunya bisa berkaca pada Ainun Niswati Chomsun, inisiator sekaligus Ketua Komite @akademiberbagi.
Sejak 2010 lalu, melalui tagar #akber, kerja voluntir berbagi ilmu lintas disiplin perpaduan kelas daring dan luring ini telah hadir di Jakarta, Medan, Palembang, Jambi, Bandung, Solo, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Malang, Balikpapan, Makassar, Ambon, Ende, Madura, dst.
Berbagai macam topik telah diberikan di dalam kelas-kelas di antaranya Media Sosial, Advertising, Jurnalistik, Public Speaking, Public Relation, Financial, Entrepreneurship, dst. Pembicaranya jempolan semua dan mereka semua rela tak dibayar.
Pendiri Detikcom, Budiono Darsono, termasuk salah satu pelopor kalangan profesional yang mengajar, sehingga siapapun masyarakat Indonesia (yang kerap terbentu biaya dalam menambah skills) bisa langsung memperoleh ilmu dari pakar nomor wahid secara gratis!
Kini, setidaknya lebih dari 100 relawan dan lebih 1.500 orang anggota bergabung. Bahkan, bukan hanya di Indonesia, lompatan kebaikan berbasis jejaring daring ini sudah sampai Singapura. Tak perlu heran jika nanti negara lain menduplikasinya.
βAwalnya saya follower-nya Pak Subiakto, CEO Hot Line Agency. Pak Subiakto suka nge-tweet ilmu iklan. Suatu saat dia tweet copywriting. Saya langsung bilang ingin belajar copywriting. Beliau langsung setuju, asal terkumpul 10 orang. Setelah itu, @akademiberbagi terus bergulir,β ujar Ainun, peraih Digital Community Leader dari Bubu Award 2011, One Hundred Young Women Netizen dari Marketeers 2011, The Most Inspiring Social Movement dari Klik Hati Award, dan banyak lagi.
Di luar negeri, gerakan semacam tentu lebih banyak. Beberapa bahkan sudah berhasil ditransmisikan global dan jadi pilihan Bangsa Indonesia seperti petisi online, Change.org. Kita tentu berharap komunitas virtual digital produktif seperti inilah yang terus ada dan makin tumbuh.
Meski faktanya, kita tak bisa mengelak, masih ada misalnya Facebook Group yang sulit move on dari Pilpres 2014. Apapun yang dilakukan pemerintahan eksisting, pendekatan gelas kosong separuh-lah yang dikedepankan. Pesimitisme terjaga, jangan sampai menular.
Maka, dalam kesempatan ini, penulis mengapungkan sejumlah pemikiran berbasis ilmu komunikasi terkait kebijakan dalam kerumunan digital hari ini. Pertama, mari jaga spirit kebaikan yang mengutamakan konfirmasi, klarifikasi, dan mencari data pembanding saat berkomunikasi.
Entah apa yang sebenarnya terjadi, apakah tekanan ekonomi atau spirit kebebasan kebablasan, masyarakat Indonesia hari ini kerap mudah meledak hanya oleh sebuah kemasan/judul. Belum juga dibaca utuh, sudah berkomentar dan malah share ke yang lainnya.
Alih-alih konfirmasi, yang terjadi adalah memelihara dan meneruskan syak-prasangka lebih melebar. Padahal, di sisi lain, dengan era gawai-media sosial-internet sekarang, sebenarnya demikian mudah kita berusaha mencari data pembanding. Apalagi sekadar klarifikasi.
Kedua, setelah informasi yang benar kita peroleh, jangan lupa asas komunikasi untuk selalu menyampaikan kepada right people in the right place, at the right time, and in the right way. Terkadang kerumunan dunia maya selalu tergesa-gesa dalam banyak hal.
Sikap ini bukan saja bisa mengaburkan subtansi kebenaran, namun sekali lagi malah kontraproduktif karena memperkeruh keadaan. Untuk itulah, rasanya diperlukan kematangan sikap dalam menelaah situasi sekaligus melihat waktu paling baik ketika kita hendak berkomunikasi.
Ketiga, jangan pernah melupakan hakikat kemampuan manusia yang sebenarnya dianugerahi kemampuan tinggi dalam mencerna informasi, namun secara bersamaan juga kerap tergiur kerentanan mudah terpengaruh opini yang terlanjur beredar.
Tegakkanlah kemampuan kita dalam mencerna banjir informasi apapun yang masuk. Jangan biarkan diri kita menjadi korban atau larut kerumunan digital tidak produktif. Seperti Antonius dan Ainun, gawai dan internet haruslah menjadi medium dan pemicu pergerakan positif.
*) Penulis, Muhammad Sufyan merupakan Dosen Fakultas Komunikasi Bisnis Telkom University.
(Ardhi Suryadhi/Ardhi Suryadhi)