Cerita pertama adalah Rob McEwen, CEO Goldcorp Inc, sebuah perusahaan pertambangan emas asal Toronto, Kanada. Tahun 1999, ketika dalam masa galau akibat tambang andalannya di Red Lake selama 50 tahun dalam kondisi sekarat, dia mengikuti konferensi di MIT bagi para pemimpin perusahaan.
Kegalauan itu wajar terjadi karena selain sekarat, perusahaannya pada fase itu menghadapi pemogokan, utang, lonjakan bea produksi, dan kondisi pasar tak kondusif. Sebagai CEO sekaligus pemilik saham mayoritas Goldcorp, dirinya berada dalam kondisi menuju bangkrut total!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Torvald digambarkan sebagai orang yang berani dan sengaja melempar source codingΒ-nya ke dunia -- hal yang sangat berbeda dengan Microsoft misalnya -- yang menarik, keputusan itu mengundang ribuan programmer anonim dan tak saling kenal untuk bersama membangun.
Selepas itu, McEwen yang galau sontak mendapat pencerahan. Sepulangnya ke Toronto, dia mengumpulkan seluruh manajemen dan meminta mereka memberikan semua dokumen geologi pertambangan perusahaan dari tahun 1948.
βLalu, kita meminta dunia untuk mengatakan dimana kita akan menemukan 6 juta ons emas. Ini adalah peluang untuk memperoleh otak-otak terbaik dalam industri pertambangan,β ujarnya, seperti ditulis Don Tappscot dalam Wikinomics : How Mass Collaboration Changes Everything (2004).
Meski para manajernya sanksi dan khawatir, pada Maret 2000, tantangan itu dibuka Goldcorp ke umum dengan tawaran hadiah USD 575.000 bagi partisipan yang berhasil memberikan metode terbaik. Respons langsung tinggi karena ada 1.000 peminat dari 50 negara di dunia.
Meski peserta tak pernah datang ke Toronto, berbekal paduan sainstifik mutakhir, lalu teridentifikasi 110 target pertambangan emas baru di Red Lake dari peserta. Dan percaya atau tidak, hasil akhirnya Rob McEwen bukan hanya menemukan 8 juta ons emas, tapi juga memangkas masa riset 3 tahun!
Selain cerita tranformasi luring ke daring, maka sebaliknya ada cerita Second Life, sebuah MMOG/massively multiplayer online game asal Amerika Serikat, yang mana terdapat sedikitnya 325.000 pengguna yang membangun sebuah kota impian (10 Years on Second Life: Lindenlab.com).
Menariknya, bukan sekadar simulasi permainan digital, sebab ada 3.100 penduduk virtual yang memperoleh uang dengan akumulasi pendapatan USD 20.000. Ini terjadi karena, seperti dialami Anshe Chung (seorang pengguna Second Life), beberapa item pilihan dari permainan bisa ditransikan di dunia nyata.
Anshe yang berperan sebagai pemilik perusahaan properti di web tersebut kerap memperoleh dolar asli dari mereka yang ingin menyewa properti 'jejadiannya' itu. βEkonomi maya sangat kuat, dan kini memberikan keahlian dan jasa kepada perekonomian riil dunia,β sambungnya.
Betapa kita semua mungkin tak pernah berpikir seliar ini -- terutama ketika definisi teknologi era dulu sebatas pemroses bahan mentah menjadi barang jadi. Kini, pergerakan bisa cepat terjadi, dari bidang, pelaku, dan model yang tak pernah terperikan sebelumnya.
Ketika pemrosesan data dan informasi dimodifikasi demikian canggih oleh algoritma komputer, sementara di saat bersamaan mobilitas penduduk dunia makin tinggi, alhasil perubahan cepat dan progresif muncul di mana-mana. Bahkan, nyaris tanpa batas (borderless).
Untuk itulah, perubahan bentuk dan pola dari bisnis online dan atau offline, sebenarnya sesuatu yang relevan sekaligus sebuah keniscayaan pada hari ini. Betapa tidak, kita sudah sering lihat statistik, bahwa pengguna internet dunia tak pernah berhenti untuk tumbuh eksponensial.
Kita juga sudah kerap membaca bahwa ada beberapa negara riil di dunia ini, baik negara besar dan tua apalagi negara baru yang kecil, yang jumlah penduduknya sudah terlewati hanya oleh jumlah penduduk maya pengguna aktif Twitter contohnya.
Pun demikian Indonesia. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada akhir 2014 lalu menyebutkan netizen di Indonesia telah mencapai 88 juta orang atau sudah melewati Jawa Barat sebagai provinsi terbesar di Indonesia dengan 46 juta orang.
Dengan tingkat penetrasi 29% dari jumlah penduduk negeri ini, 30 juta di antaranya pun merupakan pengguna ponsel cerdas (smartphone) dan tablet. Alias mereka yang membuat aneka perubahan cepat ini selalu lekat dalam genggamannya.
Belum cukup sampai sana. Netizen Indonesia juga sudah masuk kategori heavy user, karena 40% waktu melek dari hidupnya (tujuh jam dari 18 jam) terkoneksi dunia maya dengan rincian 4-5 jam di komputer personal dan sisanya di smartphone/tablet.
Situasi semacam itu diekploitasi dengan baik, terutama oleh para pelaku dunia maya. Dalam pandangan penulis, kita bisa melihat, terutama sejak tahun 2008 lalu, apa yang tersaji di ranah daring semakin mampu mengakomodir dan merepresentasikan prilaku manusia kebanyakan.
Pertama, dengan konsep web 2.0 seperti banyak dikenalkan oleh media sosial, pola komunikasi terjadi adalah many to many, bukan lagi broadcast media. Bukankah pola ini juga selaras dengan perubahan sosial yang terjadi di dunia ketika era perang dingin berakhir?
Ketika dahulu TVRI dan RRI selalu menjadi broadcast media yang mendominasi kehidupan masyarakt Indonesia, lantas datang era reformasi yang dituntut serba demokratis dan dua arah interaksi, maka hal yang wajar apabila laman daring kontemporer digemari masyarakat.
Kedua, era partisipatori adalah era kekinian. Ketika masyarakat Indonesia, siapapun dengan latar belakang sekelam apapun, diberi banyak akses muncul ke panggung -- yang bahkan panggungnya bisa dibuat sendiri tanpa biaya besar, imbasnya perilaku psikologi sosial sontak tertampung.
Apa yang dihadirkan YouTube, Flickr, hingga Instagram, adalah manifestasi konsep user generated content yang sejalan dengan kebutuhan aktualisasi (narsis?) masyarakat urban aktual. Kita bisa bayangkan betapa mati gayanya masyarakat kita tanpa swafoto dan media sosial.
Ketiga, pelaku bisnis daring makin faham karakter masyarakat dunia yang ingin serba praktis dan individualistis. Maka, munculkan spirit platform berbagai laman yang mengagungkan usability dan joy of use yang langsung klop dengan keinginan penduduk dunia.
Maka, suka tidak suka, mau tidak mau, Anda mau mencoba mengelak ke manapun, percayalah bahwa batasan domain daring dan luring makin hari makin samar dan menipis, sehingga aneka tranformasi perpaduan ranah online dan offline bakal makin tajam ke depan. Selamat menikmati!
*) Penulis, Muhammad Sufyan merupakan Dosen Fakultas Komunikasi Bisnis Telkom University.
(ash/ash)