Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Kolom Telematika
Revolusi IT Menjadi Status Quo dan Absurd
Kolom Telematika

Revolusi IT Menjadi Status Quo dan Absurd


- detikInet

Akun Facebook Joko Widodo
Jakarta -

Kemajuan Informasi Teknologi (IT) telah melahirkan diseminasi teknologi maju. Media sosial (medsos), yang merupakan derivat dari Web 2.0, telah mengubah cara pandang kita dalam berinteraksi dengan sesama.

Teknologi awan (cloud) telah memberikan ruang data yang sangat besar (big data), sehingga pengolahannya menjadi semakin dipermudah. Smartphone, tablet, dan smartwatch telah membawa interaksi medsos dengan sangat mobile dan real time, menembus batas benua dan samudera.

Dengan kata lain, IT telah merevolusi hidup kita. Namun, sejarah membuktikan bahwa semua revolusi memiliki titik jenuh, dan segera menjadi status quo baru. Bahkan bukannya tidak mungkin menjadi absurd. Bagaimana hal itu terjadi?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rutinitas Medsos

Kemenangan Barrack Obama di pemilu Amerika Serikat pada 2008 dan 2012, juga kemenangan Joko Widodo pada pemilu Indonesia tahun 2014 ini, telah membuktikan bahwa medsos telah merevolusi dunia politik begitu rupa.

Aktifnya relawan mereka di dunia maya, terutama di medsos, adalah faktor utama yang mengantarkan idola mereka ke posisi tertinggi di negeri masing-masing.

Namun, apa yang terjadi setelah itu? Semua menjadi rutinitas saja. Menanggapi isu politik dan ekonomi melalui medsos sekarang ini bukanlah sesuatu yang luar biasa, namun sesuatu yang sangat normal.

Di sini sudah terjadi pergeseran paradigma, dari 'revolusi' medsos, menjadi rutinitas. Selama ini, Barrack Obama menggunakan medsos secara rutin untuk mempromosikan program-program pemerintahannya, dan kemungkinan Joko Widodo juga akan melakukan hal yang sama.

Meminjam istilah Francois Lyotard, Medsos digunakan oleh mereka yang progresif untuk mendongkel 'narasi besar' yang hegemonik. Ironisnya, progresivitas tersebut akhirnya dapat menjadi 'narasi besar' baru.

Absurditas Teknologi Awan (Cloud)

Baru-baru ini, komunitas IT dikejutkan oleh berita kebocoran data dari sebuah layanan teknologi awan. Akibatnya, foto tidak senonoh dari artis barat beredar di berbagai forum dan milis.

Foto-foto tersebut juga akhirnya dapat diakses oleh gadget-gadget yang beredar di pasaran. Menurut pengakuan para artis tersebut, foto-foto yang disimpan di cloud adalah untuk konsumsi pribadi, sehingga penyebarannya ke publik adalah pelanggaran privasi yang sangat serius dan dapat dituntut secara hukum.

Terlepas dari pelanggaran hukum yang dilakukan penyebar foto tersebut, beberapa komentar miring di medsos menunjukkan, bahwa hal ini sudah sangat memprihatinkan. Bahkan ada yang berkomentar, bahwa kemajuan IT sudah memberikan ekses yang sangat memuakkan dengan pelanggaran privasi tersebut.

Dengan kata lain, meminjam istilah Albert Camus, kemajuan IT sudah menyeret kita dalam absurditas, karena dibayangi oleh ekses negatif yang sangat destruktif terhadap kemanusiaan itu sendiri. Walaupun sangat berguna, namun user seyogyanya berhati-hati dalam menggunakan teknologi awan, dan memperhatikan dengan sangat telit semua parameter pada privacy setting mereka.

Quo Vadis Kemanusiaan?

Perkembangan medsos dan teknologi awan telah berada di persimpangan jalan. Bahaya dari rutinitas adalah kebosanan yang kontra produktif, bahkan kontra revolusioner.

Sementara itu, bahaya dari absurditas adalah kemuakkan (nausea). Disini, positioning terhadap perkembangan IT menjadi penting supaya tidak terjerembab kepada status quo. Kemanusiaan adalah jawabannya.

Perkembangan IT seyogyanya digunakan bukan hanya untuk mencari sensasi, namun untuk kepentingan kemanusiaan. Gerakan internet sehat, yang disponsori ICT watch, merupakan langkah positif untuk advokasi internet secara aman.

Penyebaran foto siswa sekolah yang menyebrangi sungai secara tidak aman pada suatu daerah di Indonesia via medsos merupakan advokasi positif untuk menunjukkan adanya masalah pembangunan infratruktur.

Gerakan 'Jangan Bugil di Depan Kamera' (JBDK), yang pernah populer di tahun 2007-2008 lalu, merupakan upaya positif untuk tidak memanfaatkan IT untuk pornografi dan pornoaksi.
Β 
Kemanusiaan bukanlah status quo, karena mengayomi mereka yang tertindas selalu merupakan tindakan progresif. Di satu sisi, ke depannya, sesuai dengan kampanye mereka sebelumnya medsos, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla juga seyogyanya menyajikan program-program yang pro-rakyat dan terutama pro-poor, dengan menggunakan medsos untuk wahana sosialisasi.

Dengan demikian, administrasi pemerintahan tidak terjebak ke dalam rutinitas yang membosankan. Di sisi lain, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) selanjutnya juga harus lebih memperhatikan isu privasi atau keamanan data.

Melakukan sensor pornografi dan pornoaksi di dunia maya adalah tindakan yang sangat baik, namun lebih proaktif terhadap potensi kejahatan luar biasa di medsos, seperti bullying, pemerkosaan dan pembunuhan, juga harus ditingkatkan.

Di sini Kominfo ke depan seyogyanya mengoptimalkan kerjasama dengan divisi cybercrime Polri. Bahkan untuk fungsi intelejen yang tingkat lanjut, bisa kordinasi dengan Kementerian Pertahanan.

Arli Aditya ParikesitTentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumni program Phd dalam bidang Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti dan Dosen Luar Biasa pada Grup Riset Bioinformatika, Departemen Kimia FMIPA-UI; Managing Editor Netsains.com; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di facebook, dan www.gplus.to/arli di google+.
(ash/ash)







Hide Ads