Pada artikel sebelumnya, wacana perluasan e-channel untuk bidang pembayaran sehari-hari, salah satunya bisa diatasi branchless banking.
Β
Namun seperti apakah implementasi idealnya di lapangan? Mengapa Bank Indonesia dan perbankan nasional/swasta yang telah menerapkan layanan perbankan tanpa kantor cabang ini di lapangan belum terasa menciptakan dampak signifikan?
Sebelum menjelaskan strategi lengkapnya, ada baiknya melihat dulu sejarah branchless banking di dunia. Dengan dipelopori Muhammad Yunus (peraih Nobel 2006, pendiri Grameen Bank, Bangladesh), konsep ini pertama kali muncul di Bangladesh smjnhejak tahun 1983.
Β
Sekali pun berbekal sepeda sebagai kendaraan operasional dan pesan singkat seluler (SMS) sebagai lini utama layanan, Grameen Bank mensasar ibu rumah tangga untuk layanan mikro perbankan. Selepas itu, sejumlah bank/operator seluler di berbagai negara mengikutinya.
Meski banyak yang menjejaki, namun pergerakannya waktu itu masih tergolong sporadis. Sejarah mencatat yang pergerakannya terstruktur, visioner, dan diterima publik mulai terjadi selepas tahun 2000 di sejumlah negara-negara berkembang.
Β
Sementara kita, di Indonesia yang masalah dan kondisi geografisnya hampir sama dengan beberapa negara di atas, relatif terlambat memulainya dari mereka. Yakni baru tahun 2006 ketika Bank Indonesia (BI) mengeluarkan wacana cash less society.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tabel 1. Timeline Branchless Banking di Dunia dan di Indonesia.
Hasil komparasi di atas amat disayangkan jika mengingat betapa besarnya potensi branchless banking di Indonesia --melebihi potensi di sejumlah negara yang lebih dulu menerapkan dan sukses. Kita bisa lihat potensi ini dengan melihat peta distribusi bank berikut (lihat tabel 2).
Tabel 2. Potensi Branchless Banking di Indonesia.
Melihat peta di atas, potensi kita lebih besar karena masih banyak provinsi/daerah yang sebaran distribusi perbankannya masih sangat rendah (kategori underbanked, low equilibrium banked, dan middle equilibrium banked), sehingga masyarakat butuh layanan tanpa kantor cabang.
Terutama di luar Jawa, masyarakat kita sangat memerlukan layanan perbankan, terutama yang sifatnya harian seperti pembayaran tagihan, penarikan tunai, dan setoran. Di sisi lain, data luar pulau Jawa ini linear dengan sebaran penduduk di Indonesia.
Data yang dihimpun penulis menunjukkan bahwa 54% masyarakat kita tinggal di pedesaan, sisanya di perkotaan. Oleh karena itu, jika menilik dua variabel demografis saja, kita bisa teguhkan keyakinan akan tingginya potensi branchless banking -- BI belakangan menyebutnya UPLK (Unit Perantara Layanan Keuangan) dan atau Mobile Payment System.
Secara respons pasar, survei Sharing Vision per September 2013 kepada 29 responden yang tak punya rekening bank menunjukkan, 70% dari mereka tertarik layanan keuangan tanpa kantor cabang ini dengan alasan utama praktis dan lebih terjamin.
Β
Dalam kesempatan ini, penulis menyodorkan dua langkah utama agar layanan ini bisa meluas dan sangat bermanfaat bagi rakyat sesukses Grameen Bank Bangladesh, Gcash Filipina, Mpesa Kenya, dst. Pertama, regulasi terkait harus kian diperkuat dengan memberikan penegasan.
Pasca adanya struktur baru BI dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) per 1 Januari 2014, penulis melihat masih ada transisi organisasi tentang siapa yang kini yang benar-benar bertanggungjawab terhadap UPLK tersebut.
Apakah masih jadi domain BI sebagai pihak yang pertamakali merumuskan aturan ini? Ataukah urusan mobile payment system ini sudah sepenuhnya ditransfer sekaligus dikendalikan OJK sebagai pengawas operasional industri keuangan?
Karena itulah, dalam momen transisi yang masih hangat-hangatnya ini, sebaiknya segera ditentukan kewenangan dan struktur yang definitif, entah di BI atau di OJK, akan posisi fungsi regulator dan evaluator layanan tersebut.
Jangan sampai kesempatan emas yang sudah ada di depan mata, manakala perbankan dan operator seluler di Indonesia kini kian serius menggarapnya (setelah awal-awal selalu ego sektoral), kemudian tidak dijaga dan dikawal pemerintah dengan baik.
Kedua, industri terkait (terutama operator seluler dan perbankan) harus menajamkan empat standar terkait layanan perbankan tanpa kantor cabang ini: Manajemen agen, manajemen resiko, manajemen kas, serta proses bisnis.
Ambil contoh jika sub ritel operator atau minimarket terpilih menjalankan UPLK. Bisakah minimarket memperkirakan berapa uang kas yang akan ditarik nasabah (manajemen kas), bagaimana antisipasi kehilangan uang (manajemen resiko), dst.
Pedagang pulsa yang berpotensi sebagai agen branchless banking misalnya, harus dibimbing standar dan manajemen mendekati perbankan. Ini memang tidak mudah namun ini bukan mustahil. Selama untuk kemaslahatan rakyat, sudah selayaknya kita terus berjuang total!
*) Penulis, Dr. Dimitri Mahayana merupakan chairman Lembaga Riset Telematika Sharing Vision/ www.sharingvision.com.
(ash/ash)