Gelombang PHK tengah menimpa berbagai startup baik di dalam maupun luar negeri. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi di balik kondisi yang suram tersebut?
Di Indonesia sejak akhir Mei, ada beberapa startup tercatat melakukan PHK. Perusahaan dompet digital LinkAja, edtech Zenous, sampai platform e-commerce JD.ID memangkas sebagian karyawannya.
Di luar negeri, situasinya juga memburuk bagi sebagian startup. Penelusuran dari agregator layoffs.fyi menyebut total 15 ribu pegawai di jagat teknologi kehilangan pekerjaannya di berbagai negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inflasi dan suku bunga tinggi sampai perang di Ukraina menekan performa startup dan perusahaan teknologi secara umum. Perusahaan besar termasuk Meta dan Twitter juga terimbas dan mengatakan tidak ada pembukaan lowongan kerja untuk sementara.
Namun tidak hanya itu saja. Setelah masa yang bisa dikatakan sebagai bulan madu bagi startup dengan guyuran pendanaan besar, maka kini situasinya sudah berbeda.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan bahwa pada saat ini, investor mulai melakukan perhitungan atas investasi besar yang sudah mereka tanamkan. Maka terjadilah efisiensi.
"Iya saat ini para investor sudah pada taraf ingin mengambil untung dari investasi gelombang startup pertama, setidaknya mengembalikan modal mereka sehingga startup didorong untuk IPO," kata Heru Sutadi kepada detikINET, Kamis (2/6/2021).
IPO atau penjualan saham perdana memang tujuan akhir sebuah startup sehingga semua pihak meraih timbal balik atas usaha dan dana yang sudah dikeluarkan. Di sisi lain, para investor juga semakin selektif dalam mengucurkan dana ke startup, tidak asal menyebar seperti dulu.
"Sehingga investasi juga berat dan sudah selesai untuk model startup seperti e-commerce, fintech, edutech dan sebagainya," papar Heru.
Halaman selanjutnya: Gelembung startup sudah bocor >>>
Heru mengatakan masih ada beberapa startup mendapatkan pendanaan. Namun kini persaingan makin ketat dan adaptasi teknologi terbaru adalah faktor penting agar bisa bertahan.
"Yang masih ada investasi tapi juga kompetitif dan sulit adalah untuk adopsi teknologi 4.0 seperti internet of things, VR, AR, metaverse maupun kecerdasan buatan," tambah dia.
Melihat situasi saat ini, Heru menilai memang bubble atau gelembung startup sudah bocor sehingga mungkin akan ada startup yang jadi korban. Hal itu tidak lepas dari sifat sebuah startup.
"Startup memang dari asal bersifat bubble karena secara fundamental bisnis memang fragile. Sebab, rata-rata tidak memiliki aset dimana aset dimiliki mitra. Seperti transportasi online yang memiliki motor atau mobil kan mitra. Menyediakan barang yang dijual semua disediakan mitra. Sehingga, rentan untuk gelembungnya pecah," jelas Heru.
Maka, startup yang akan bertahan di masa depan tentu yang mampu beradaptasi dalam situasi sulit dan survive.
"Sekarang posisi gelembung sudah bocor. Makanya banyak PHK di sana sini. Dan jika dalam 1-2 tahun ke depan tidak survive atau jadi unicorn maka gelombang PHK akan terus terjadi baik skala kecil maupun besar," pungkas Heru.