Industri layanan keuangan di Indonesia mengambil loncatan besar sejak merebaknya pandemi. Namun, menurut hasil riset VMware, masih terdapat kesenjangan yang perlu segera dibenahi dalam membangun fondasi digital kokoh dan terpercaya di tengah sengitnya kompetisi.
Dalam temuan VMware Digital Frontiers 3.0 Study, disebutkan peta kompetisi industri layanan finansial telah beralih ke daring. Ini dibuktikan dengan 9 dari 10 (90 persen) responden Indonesia menyatakan lebih memilih beralih dari sistem pembayaran tunai ke nirkontak.
Angka ini tertinggi dari pada negara-negara Asia Tenggara lain yang disurvei: Singapura (88 persen), Filipina (76 persen), Malaysia (87 persen) dan Thailand (85 persen).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain meningkatnya adopsi platform perbankan digital, hampir seperempat (24 persen) responden Indonesia merasa organisasi layanan finansial kurang mampu beradaptasi atau meningkatkan layanan di tengah dinamika industri.
Angka ini menggambarkan urgensi industri dalam memperkuat tumbuhnya inovasi mutakhir sebagai strategi memuaskan nasabah. Nasabah Indonesia sigap beralih ke lingkungan digital-first dan menerima suguhan digital experience terbaru dengan baik. Menurut studi ini, 58 persen responden antusias dalam pelibatan dengan organisasi-organisasi layanan finansial.
Capaian ini dirasa cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Singapura (44 persen), Filipina (57 persen), Malaysia (56 persen), dan Thailand (62 persen). Dengan 53 persen masyarakat Indonesia lebih memilih mengakses layanan perbankan melalui aplikasi, tentu prioritas utama nasabah adalah bagaimana dapat merasakan layanan yang lancar dan akses ke aplikasi yang efektif.
Ini tercermin dari sebanyak 70 persen responden Indonesia mengutamakan kemudahan dalam mengakses aplikasi dan layanan digital sebagai prioritas utama dalam memilih penyedia layanan finansial. Angka ini termasuk salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara lainnya, Thailand (80 persen), Singapura (61 persen), Filipina (63 persen) dan Malaysia (67 persen).
Lebih dari setengah responden Indonesia menganggap bahwa lembaga-lembaga layanan finansial lebih baik dalam menghadirkan digital experience dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ritel, layanan kesehatan, pemerintahan, hingga edukasi.
Ini menggambarkan turgensi tinggi bagi industri agar lebih fokus memperkokoh bangunan fundamental sehingga mampu menghadirkan digital experience yang lebih baik bagi konsumen. Dari peningkatan keamanan dan proteksi data (53 persen), kemudahan dalam penggunaan di lintas perangkat (51 persen), hingga kecepatan layanan (40 persen).
"Industri layanan finansial di Indonesia gesit beralih ke dunia digital selama pandemi ini. Mereka mengembangkan inovasi-inovasi dalam menghadirkan digital experience mutakhir yang mulus berbasis pada teknologi masa depan. Kini nasabah telah mafhum dengan teknologi-teknologi tersebut dalam mendukung interaksi mereka dengan layanan bank," ujar Cin Cin Go, Country Manager, VMware Indonesia dalam keterangan yang diterima detikINET.
Ia manambahkan seiring pesatnya pertumbuhan Indonesia yang digadang menjadi hub ekonomi syariah terbesar di Asia berikutnya, penting bagi perusahaan di Indonesia menjaga ketangguhan dan tingkat kompetitif dengan memperkokoh bangunan fondasi teknologi masa depan, seperti pemanfaatan Cloud.
"Tidak sebatas di ranah digital, dukungan dari pemerintah dalam membangun ekosistem keuangan yang inklusif merupakan kunci keberhasilan bangsa Indonesia dalam cakap merespons, beradaptasi, serta mempercepat pertumbuhan bisnis di dalam paradigma digital yang baru saat ini." sebutnya.
Nasabah Indonesia kini lebih memilih dan berharap ada opsi digital saat berinteraksi dengan sektor layanan finansial. Sebanyak 58 persen responden Indonesia menuturkan ponsel pintar mereka dianggap makin penting daripada dompet fisik. Ini mengindikasikan peningkatan kebutuhan pembayaran nirkontak dan bergerak.
Sebanyak 49 persen bahkan tidak masalah untuk mempersilakan aplikasi untuk turut memutuskan di mana mereka bisa menginvestasikan dana mereka, alih-alih berkonsultasi melalui karyawan bank secara langsung. Angka ini jauh lebih tinggi dari angka rerata di regional sebesar 41 persen.
Nasabah Indonesia menunjukkan antusiasme dan optimisme terhadap kehadiran teknologi masa depan, terlihat dari tingginya kepercayaan terhadap teknologi masa depan, seperti artificial intelligence (78 persen), 5G (85 persen) dan facial recognition (85 persen). Angka ini tertinggi dibanding rerata di kawasan regional, dengan angka persentase untuk artificial intelligence (70 persen), 5G (78%) dan teknologi pengenalan wajah (75 persen).
Keamanan juga masih menjadi faktor yang dianggap paling penting. Ini terlihat dengan adanya sebanyak 79 persen responden Indonesia menyatakan bahwa keamanan menjadi prioritas utama mereka dalam memilih penyedia layanan finansial.
Sementara 51 persen menyatakan paranoid apabila ada lembaga melacak dan merekam data personal di perangkat mereka. Ini membawa implikasi luar biasa bagi para pemain industri layanan finansial bahwa mereka dituntut tidak saja mampu menghadirkan pengalaman perbankan yang lancar dan tepersonalisasikan, namun juga mampu menjamin keamanan tiap nasabah.
Perjalanan digital masyarakat Indonesia tercatat mengalami pertumbuhan positif mencapai 80 persen. Selain menempatkan diri sebagai "digitally curious" atau "digital explorers", angka ini menunjukkan adanya peningkatan akan hadirnya ekosistem finansial yang makin inklusif dan patuh pada prinsip-prinsip etika.
Sebanyak 59 persen menyatakan akan berhenti berhubungan dengan perusahaan yang enggan menginformasikan kebijakan etika perusahaan secara publik.
Dengan melihat pentingnya upaya menjembatani kesenjangan digital yang ada, 57 persen responden Indonesia merasakan kekhawatiran bahwa kebiasaan yang mereka lakukan selama ini jadi sandungan ketika nanti akan merengkuh era baru dunia digital maupun ketika hendak mengakses layanan yang dibutuhkan.
Namun demikian, mayoritas responden Indonesia (84 persen) menaruh harapan mereka yang tinggi terharap teknologi, bahwa teknologi nantinya akan mampu mendorong meningkatnya inklusivitas di dunia finansial dalam satu dekade mendatang.
(fyk/fyk)