Jakarta -
Dunia berubah dengan begitu cepat. Bermula dari Wuhan, China, virus SARS-CoV-2 menggemparkan dunia. Merujuk pada laporan WHO ke-37 tentang situasi COVID-19, 26 Februari 2020, kasus corona pertama yang dikonfirmasi di China adalah pada tanggal 8 Desember 2019.
Semua panik, semua orang kebingungan. Belum lagi merebak video yang menunjukkan warga China yang tergeletak dan kejang-kejang -- yang akhirnya diketahui sebagai hoaks -- tapi cukup membuat semua lupa rasa kemanusiaan. Tisu, bahan makanan, apapun yang ada, semua diborong tanpa sisa. Yang beruntung mulai membeli harga masker yang melonjak menjadi Rp 500 ribu per boks. Keadilan sosial bagi mereka yang bercuan, katanya.
Dampaknya pada perekonomian sangat luar biasa, terlebih saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan. Putus Hubungan Kerja (PHK) jadi momok yang menyeramkan selain musuh tak kasat mata, SARS-CoV-2. Banyak orang yang kini bergantung pada bantuan dari pemerintah untuk menyambung nasib.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) per 7 April 2020, tercatat sebanyak 39.977 perusahaan di sektor formal yang memilih merumahkan, dan melakukan PHK terhadap pekerjanya karena situasi pandemi. Total ada 1.010.579 orang pekerja yang terkena dampak dengan rincian 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan dirumahkan, sedangkan 137.489 pekerja di-PHK dari 22.753 perusahaan. Angka ini mungkin semakin bertambah.
Sementara itu, jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di sektor informal adalah sebanyak 34.453 perusahaan dan 189.452 orang pekerja. Dahsyat, bukan?
Di sisi lain, mungkin sudah jengah terhadap cengkaraman pandemi, banyak orang yang mengalami 'Caution Fatigue' di mana mereka mulai abai pada protokol kesehatan. Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan tingkat kepatuhan masyarakat akan protokol kesehatan aman COVID-19. Hasilnya, 55 persen responden yang tidak patuh beralasan karena tidak adanya sanksi.
"55 persen responden berpendapat tidak ada sanksi. Jadi pemerintah sekarang sudah menerapkan sanksi, nampaknya ke depan sanksi perlu lebih dipertegas," ujar Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto saat merilis hasil survei secara virtual, Senin (28/9/2020).
Alasan yang membuat masyarakat abai mengenakan masker pun dirilis oleh BPS:
- Harga masker, face shield, hand sanitizer, APD, cenderung mahal: 23 persen
- Pekerjaan menjadi sulit jika harus menerapkan protokol kesehatan: 33 persen
- Aparat atau pimpinan tidak memberi contoh: 19 persen
- Mengikuti orang lain: 21 persen
- Tidak ada sanksi jika tidak menerapkan protokol kesehatan: 55 persen
- Tidak ada kejadian penderita COVID-19 di lingkungan sekitar: 39 persen
- Lainnya: 15 persen
Waktu berjalan, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 memaparkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan di Indonesia hingga November ini. Satgas menyebut, selama 8 bulan pandemi Corona, masih ada 20 persen warga yang belum disiplin menggunakan masker.
"Kita sudah 8 bulan dan kegiatan masyarakat juga sebagian sudah mulai kembali dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Kami di Satgas memiliki alat monitor tentang perilaku yang ada di masyarakat dan sudah kita operasikan sebulan lebih," kata juru bicara Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito, dalam siaran YouTube BNPB, Senin (9/11/2020).
Seakan belum cukup, ujian makin bertambah keras dengan keputusan untuk menutup tempat hiburan mulai dari bioskop, taman hiburan, karaoke, restoran, dan sebagainya. Bisa dibayangkan betapa suramnya tahun 2020. Suara pun terpecah dua, antara mereka yang #diRumahAja dengan mereka yang berteriak tidak bisa hidup berdiam diri di rumah karena pekerjaan yang tidak pasti.
"Ya gampang kalau duitnya banyak, tinggal di rumah doang uang juga sudah datang. Kalau saya?" kata kubu 1.
"Kamu pikir enak di rumah doang? Jangan egois dong! Pakai masker, di rumah aja, tunggu bantuan pemerintah!" sahut kubu lainnya. Sampai akhirnya konflik semakin bergejolak dan menelurkan tagar #IndonesiaTerserah.
Ekonomi terseok-seok
Dari segi ekonomi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa potensi kerugian industri hiburan mencapai angka lebih dari Rp 100 triliun akibat terpaan COVID-19. Ia menyebutkan, PSBB yang buka tutup mengakibatkan adanya kesulitan untuk bertahan menghadapi era new normal.
Kendati demikian, melalui saluran teleconference, Hariyadi menuturkan bahwa ada jalan tengah untuk keduanya. Untuk memulihkan ekonomi sebenarnya dapat dilakukan dengan sama-sama membangun tingkat kesehatan yang mupuni.
"Pasti bisa (berjalan bersama --red) ini tergantung bagaimana kita disiplin, bolak-balik didengungkan 3M, 3M, kalau dijalankan itu tidak akan jadi masalah. Kalau kita melakukan dengan baik bisa kita atasi. Di Indonesia, sebagian disiplin, sebagian abai itu sulitnya," ucapnya kepada detikINET.
Ia mengambil contoh Swedia dan Turki yang dirasakan berhasil menerapkan protokol kesehatan dengan disiplin. Turki sendiri bahkan menyediakan dua rumah sakit khusus turis dan Hariyadi beranggapan kita bisa mencontoh langkah tersebut.
"Kami akan mengawasi, dalam pengawasan itu kita akan melihat kalau pengunjung tidak disiplin akan kami tegur, kalau ngeyel terpaksa dengan tegas akan kami usir," tuturnya.
Tony Sumampau Owner dan President Commissioner of Taman Safari Indonesia Group juga turut memberikan komentarnya. Ia beranggapan ekonomi dan kesehatan tetap bisa berjalan bersamaan. Menurutnya, tempat hiburan yang selama ini dianggap sebagai potensi cluster penyebaran Sars-CoV-2 ini justru termasuk tempat yang paling ketat menerapkan protokol kesehatan. Protokol kesehatan termasuk di dalamnya pemeriksaan suhu dan tempat duduk yang dibatasi.
"Kita termasuk terketat dibanding Malaysia dan negara lain, terutama untuk Jakarta, taman-taman hiburannya anak 9 tahun ke bawah tidak boleh berkunjung padahal anak-anak yang butuh hiburan, sangat memberatkan," kata Tony. Lebih lanjut, ia mengatakan belum ada bukti penyebaran COVID-19 lebih tinggi di tempat rekreasi, dibandingkan di kantor-kantor.
Investasi Protokol New Normal
Ketua Umum DPP Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Iqbal Alan Abdullah mengungkapkan yakni industri pariwisata di Indonesia tengah di ujung tanduk.
"Memang kita sudah babak belur. Kami berharap kondisi kita bisa berjalan seperti, kalau tidak normal paling tidak bisa bergerak, tetap bisa menjalankan usaha kita kembali," ujar Iqbal.
Sudah cukup angka 1 juta lebih orang yang kena putus hubungan kerja (PHK) dari industri hotel dan restoran, apalagi jika angka ini ditambah dengan mereka yang kehilangan pekerja di bidang travel dan event organizer (EO).
"Ini sangat serius. Tentunya kita tidak inginkan berlarut-larut. Dengan memperhatikan protokol kesehatan sesuai standar nasional dan internasional, itu yang dibutuhkan," imbuhnya serius.
Sementara itu Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengakui adanya dampak yang teramat besar dari aturan yang berlaku selama pandemi. Salah satunya adalah menutup total sektor-sektor hiburan, sekalipun sudah dilakukan investasi untuk menjalankan new normal.
"Dine-in tidak boleh memang memukul. Kembali ke normal, protokol kesehatan yang sudah kami investasikan bisa berlaku untuk masyarakat new normal. Kami merasa ini akan mengembalikan ekonomi secepat mungkin," ungkapnya.
Tanggapan dokter
Dari tadi kita bicara dari sisi pelaku usaha, lantas bagaimana pendapat dari orang yang bergerak di bidang kesehatan? Nampaknya sulit untuk tidak mengajak Daeng Mohammad Faqih, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam pembahasan kali ini. Menurut dr Daeng, pembukaan tempat-tempat hiburan bisa terlaksana asalkan semua pihak komitmen dan disiplin menerapkan 3M Plus.
"3M (mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker) plus menjaga daya tahan tubuh dan menjaga lingkungan kerja/aktivitas bersih," ucap dr Daeng.
Terlebih, diperlukan komitmen dari kedua belah pihak baik konsumen maupun pengusaha untuk terus menjamin pendisiplinan. Ini diharuskan demi menjaga rasa aman dan juga menjamin tidak adanya risiko penularan.
"Pengawasan dan monitoring harus dilakukan untuk menjamin pendisiplinan. Kalau komitmen dan disiplin tidak dijaga dan dijamin akan beresiko penularan," sambungnya.
Ada juga Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP, guru besar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang turut memberikan komentar senada. Menurutnya selama protokol kesehatan diterapkan maka sangat mungkin untuk keduanya berjalan berdampingan.
"Bisa kalau 3M dijalankan dengan konsisten. Dari awal sudah seharusnya diterapkan protokol kesehatan," tegasnya.
Sebagai pelengkap dan penyempurna, bagaimana tanggapan Satgas Penanganan COVID-19? detikINET langsung menanyakan hal ini kepada Prof Wiku Adisasmito selaku Juru Bicara. Tanggapannya tidak berbeda jauh bahwa 3M adalah kunci untuk membangun keduanya. Dalam konferensi pers, Prof Wiku menjabarkan hal ini.
"Intinya protokol kesehatan harus dilakukan dengan disiplin baik untuk tingkat individu, masyarakat, maupun pelaku usaha. Apabila ini dilakukan dengan disiplin dan baik ini dapat menekan angka kasus, maka hal ini adalah modal untuk melakukan kegiatan ekonomi. Mari kita sama-sama disiplin menjalankan protokol kesehatan," tandasnya.
Apa harus #IndonesiaTerserah terus?
Rasa lelah dan stres dirasakan banyak orang, saya pahami itu. Bahkan saya sendiri yang sudah mengalami gangguan kecemasan harus gagal turun dosis obat karena tingkatnya stres yang saya alami. Begitu juga kata para profesional, para dokter dan psikolog kenalan saya, mereka berkata bahwa selama pandemi pasien mereka meningkat. Bahkan mereka yang sudah sembuh harus datang lagi berkonsultasi.
Jadi, apa yang bisa dilakukan? Menurut saya, cara terbaik adalah berfokus pada solusi bukan saling menyalahkan. Kita seharusnya tidak perlu sampai memilih salah satu baik ekonomi maupun kesehatan. Keduanya bisa berjalan dengan baik selama masyarakat menerapkan protokol kesehatan dengan baik sehingga pandemi cepat minggat dari negeri ini.
Haruskah kita terpuruk meski sudah tahu solusinya adalah patuh pada protokol kesehatan? Sampai kapan tagar #IndonesiaTerserah muncul dan jadi trending? Saya rasa kunci untuk menyelesaikan masalah adalah membuang ego satu sama lain dan bahu membahu menciptakan jawaban dari permasalahan yang kita hadapi -- meski bicara lebih enteng daripada menerapkannya. Yuk selesaikan PR termudah dulu, sudah 3M belum?