Ada beberapa masalah klasik yang seringkali terjadi. Pengembang software membuat suatu produk sesuai dengan apa yang mereka pikirkan, padahal kebutuhan software produk di pasar tidak seperti apa yang mereka pikirkan.
Walhasil, software produk tersebut tidak dapat diterima oleh pasar pada saat dijual. Padahal perusahaan telah mengucurkan biaya pembuatan software yang cukup besar, namun tidak dapat dipasarkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Romi Satria Wahono, peneliti LIPI dan Koordinator IlmuKomputer.com berpendapat bahwa terdapat keterbatasan pengetahuan pengembang dalam software development dan standar metodologi.
"Sehingga begitu software diukur dari seluruh proses Software Development Life Cycle (SDLC), kita kedodoran dan kalah bersaing," tuturnya.
Kendala lainnya adalah rata-rata perusahaan software lokal mempunyai keterbatasan modal usaha. Hal ini dikarenakan kebanyakan perusahaan software tidak dapat memperoleh pinjaman usaha dari bank karena tidak memiliki aset nyata yang bisa digunakan sebagai agunan pinjaman. Akibatnya, masih menurut Romi, banyak perusahaan software yang berumur muda.
Jumlah pengembang software di Indonesia diprediksi sekitar 56.500, tetapi kalah bersaing dalam produksi software dibandingkan Singapura dan Malaysia yang lebih sedikit jumlah pengembangnya.
Di Singapura dan Malaysia, tutur Romi, developernya terkoordinasi menuju pasar dengan lebih efektif dan efisien. Berbeda dengan Indonesia yang developernya terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi untuk membidik pasar.
Indonesia sendiri hanya memiliki kurang dari 250 pengembang software independen (independent software vendor/ISV), ditambah lagi sebagian besar developer bekerja secara individualistik atau komunitas yang kadang kurang profesional membidik pasar.
Ngobrolin software yuk di detikINET Forum.
(dwn/faw)