"Indonesia adalah negara demokrasi dengan kebijakan open sky policy, terbuka. Kita tidak mungkin melakukan itu (memblokir Google dan YouTube), karena itu menyangkut kebebasan pers juga," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Ismail Cawidu kepada detikINET, Rabu (8/6/2016).
Indonesia, dijelaskannya, bukanlah seperti Republik Rakyat Tiongkok yang bisa menyaring konten-konten di internet secara masif sebelum disajikan ke rakyatnya. Undang-undang di Indonesia tak bisa melegitimasi pemblokiran sebagaimana yang diusulkan ICMI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih lagi, Google dan YouTube juga bukanlah situs yang sengaja dibikin untuk menyuguhkan konten negatif, misalnya kekerasan dan pornografi. Lewat situs itu, masyarakat bahkan bisa belajar, menunjang aktivitas pendidikan, mendukung geliat ekonomi, dan kegiatan berguna lainnya.
"Tidak dipungkiri, masyarakat juga banyak menemukan informasi yang bermanfaat," kata Ismail.
ICMI mendesak pemerintah agar menutup YouTube dan Google karena situs ini disorotinya memuat konten pornografi dan kekerasan. Lewat Sekjen ICMI Jafat Hafsah, situs itu dinilai telah bebas dan tanpa kontrol memaparkan dampak negatif bagi Negara. Pemblokiran video radikalisme di Google dan YouTube diprotesnya hanya sementara, dan saat ini Google dan YouTube dinilai sudah enggan menghapus konten negatif semacam itu.
"Kita belum melihat rekomendasinya," tanggap Ismail. (dnu/rou)