Maraknya penggunaan media sosial di internet sering dimanfaatkan oleh banyak penggunanya sebagai ajang melontarkan pendapat. Bahkan tak sedikit pengguna internet yang kerap melontarkan kritikan ke suatu intansi atas perlakuan tak adil yang merasa diterimanya.
Namun bukannya mendapat jawaban, tak sedikit pengkritik yang akhirnya harus berurusan dengan pihak berwajib karena dianggap mencemarkan nama baik, penyebaran kebencian, dan lain-lain. Adapun UU ITE Pasal 27 Ayat 3 yang biasanya dijadikan dasar oleh pihak yang dikritik untuk melakukan gugatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbekal hal tersebut yang didasarkan pada berbagai kasus yang dialami pengguna internet di Indonesia, KITA yang merupakan Koalisi Internet Tanpa Ancaman pun menginginkan amandemen terhadap UU ITE dan diprioritaskan.
Ada beberapa alasan yang mendasarinya, terutama terkait fakta begitu pesatnya perkembangan pemanfaatan teknologi internet, sehingga perlu adanya penyesuaian dalam pengaturannya. Selain itu, keharusan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam setiap kebijakan terkait internet juga harus dipertimbangkan.
KITA pun menekankan pada keputusan dewan PBB yang mengharuskan perlindungan hak yang dimiliki setiap orang saat offline, juga berlaku saat mereka online di internet. Perlindungan itu terkait dengan hak kebebasan berekspresi tanpa melihat batasan dan sarana media yang dipilih.
Di Indonesia sendiri masih banyak masalah dan tantangan terkait perlindungan kebebasan berekspresi di internet. Persoalan yang sering muncul adalah kian masifnya penggunaan pasal pidana penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3 UU ITE) untuk mengkriminalkan para pengguna internet yang melontarkan kritikan.
Berdasarkan data dari SAFENet, sedikitnya ada 60 orang yang harus berhadapan dengan hukum akibat aktifitasnya di internet, khususnya di media sosial. Hal ini pun dianggap menimbulkan efek ketakutan di kalangan pengguna internet sehingga memotong kebebasan berbicara, berpendapat dan berekspresi.
Praktek pemblokiran konten yang dianggap semena-mena yang kerap dilakukan pemerintah juga jadi sasaran KITA. Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif dianggap keliru, karena tidak seharusnya pembatasan terhadap hak, khususnya hak untuk memperoleh informasi dan kebebasan berekspresi, dibuat dalam wadah di bawah UU.
Oleh KITA, peraturan tersebut juga dianggap gagal menghadirkan mekanisme pembatasan konten internet yang benar-benar transparan dan akuntabel.
"Belum ada kaidah-kaidah keterlibatan publik dalam keputusan memblok sebuah website di aturan itu (Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif-red)," imbuh Donny.
Adapun KITA merupakan koalisi yang diisi oleh ELSAM, ICT Watch, ICJR, LBH Pers, SAFENet, ID-Config, AJI Indonesia, IDOLA, MAPPI FH UI, LBH Jakarta, KPJKB Makassar, LBH Pers Padang, LBH Bandung, AJI Yogyakarta, AJI Surabaya, dan Sloka Institute Denpasar.
(yud/rou)











































