"Kominfo Jangan Buru-buru, Nanti 5G Jadi Rasa 4G"
Hide Ads

"Kominfo Jangan Buru-buru, Nanti 5G Jadi Rasa 4G"

Agus Tri Haryanto - detikInet
Jumat, 18 Des 2020 13:22 WIB
Jaringan 5G
Ilustrasi 5G. Foto: Reuters
Jakarta -

Pengamat telekomunikasi menilai jika hanya mengandalkan frekuensi 2,3 GHz untuk menggelar layanan 5G dinilai tidak akan optimal. Bisa jadi, saat diresmikan nanti, layanan 5G justru rasanya seperti 4G.

Seperti diberitakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) baru saja mengumumkan Smartfren, Telkomsel, dan Tri Indonesia pemenang lelang yang masing-masing mendapatkan 10 MHz. Lelang spektrum tersebut selain untuk transformasi digital, juga digunakan penggelaran teknologi seluler generasi kelima alias 5G.

"Ini kan frekuensi masing-masing dapat 10 MHz. Sejauh ini akan berarti bagi pemain (operator-red) karena mampu membuat kapasitasnya naik. Frekuensi tinggi kan memang untuk mengisi kapasitas," ujar Doni Ismanto Darwin dari Indotelko Forum, Jumat (18/12/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Nah, kalau dilihat artinya Telkomsel dan Smartfren tambah 10 MHz, meaning kali 2 (uplink downlink) dia da sekitar 80 MHz. Belum ideal juga buat 5G, karena 5G minimal 100 MHz. Jika maksa, 5G hanya sekedar ada alias icip-icip doang. Makanya, prediksi awal ini untuk meningkatkan kualitas 4G. Hal yang sama dengan Tri, dia kan gunakan 10 MHz itu buat naikin kapasitasnya walau 10 MHz, ya lumayan," tuturnya.

Sementara itu, selain Telkomsel dan Smartfren yang merupakan penghuni lama di frekuensi 2,3 GHz --ditambah kehadiran Tri Indonesia setelah menang lelang-- masih ada PT Berca Hardayaperkasa yang menguasai zona 8.

ADVERTISEMENT

Itu artinya, untuk menggelar layanan 5G di Indonesia, operator seluler baik itu Telkomsel, Smartfren, maupun Tri Indonesia harus mengakuisisi frekuensi milik Berca tersebut agar spektrum tersebut bisa dilakukan refarming dan cakupannya nasional.

"Nah, ini kan ada yang di zona-zona layanan Berca ada, katanya pemenang harus deal B2B sama Berca sebelum refarming frekuensi. Ini waktunya setahun. Artinya sampai tahun depan juga belum dimaksimalkan frekuensi itu. Ingat Berca punya pelanggan lumayan besar di Sumatera dan lainnya," jelas Doni.

Apabila pemerintah masih ngotot menggelar 5G, khususnya pernyataan terbaru dari Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Kominfo Widodo Muktiyo, yang membocorkan bahwa penggelaran 5G diterapkan di Indonesia pada tahun 2021 maka bisa jadi dampaknya layanan 5G yang harus super ngebut dan minim latensi, justru tidak optimal dirasakan penggunannya.

"Dengan alokasi yang dimiliki sekarang, iya (tidak maksimal). Sama seperti sekarang 4G, nggak pernah (mencapai) kecepatan ideal). Kecuali Telkomsel, Smartfren, dan Tri melakukan network sharing, tapi akan kena juga di sisi kapasitas, kalau user pakai ramai, dia akan kewalahan," kata Doni.

Maka menurut Doni, ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan Kominfo sebelum benar-benar menggelar jaringan 5G di Indonesia. Pertama, isu ketersediaan frekuensi, terutama yang frekuensi tinggi untuk 5G, seperti 2,6 GHz, 3,5 Ghz, itu kan ada operator satelit sama TV satelit.

Kedua, fiberisasi di sisi operator yang butuh insentif regulasi dari pemerintah karena banyak aturan Pemda malah menyulitkan gelar Fiber Optik. Dan ketiga, use case, ini 5G mau buat apa? Idealnya sih buat Kawasan Ekonomi Khusus atau Bandara dalam rangka smart airport, kalau ritel user balik-balik nanti isu speed akan jadi masalah seperti 4G.

"Mending matengin pilot projet buat industri. Bandara Soetta layak buat trial 5G dalam rangka smart airport," pungkasnya.




(agt/fyk)