Kapasitas dan cakupan jaringan telekomunikasi yang dikembangkan operator dinilai tak lagi bisa mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia. Untuk itulah implementasi 5G seharusnya bisa menjadi prioritas pemerintah Indonesia.
Menurut Teguh Prasetya, Ketua Bidang Industri 4.0 Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), untuk daerah perkotaan dan industri seperti di Jabodetabek, layanan 4G sudah tak bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
Pasalnya, menurut Teguh, teknologi 4G tak bisa memberikan koneksi dan bandwidth yang mencukupi. Untuk itulah Teguh menyebut jaringan 5G sebenarnya sudah mendesak untuk diimplementasikan di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini kebutuhan akan 5G sudah mutlak dan mendesak diimplementasikan di Indonesia. Karena teknologi 5G menjanjikan koneksi yang lebih banyak dengan bandwidth yang lebih besar. Tantangannya di 5G juga membutuhkan frekuensi yang besar oleh sebab itu network sharing di teknologi baru mutlak dibutuhkan," ujar Teguh.
Namun implementasi 5G di Indonesia saat ini masih terhambat pada ketersediaan spektrum frekuensi yang bisa dipakai. Saat ini frekuensi yang paling mudah untuk dipakai jaringan 5G adalah 2600 MHz, namun frekuensi tersebut masih dimanfaatkan oleh TV berbayar hingga 2024.
Menurut Teguh seharusnya pemerintah bisa segera melakukan pembicaraan dengan penyelenggara TV berbayar untuk bisa melakukan refarming. Tujuannya agar frekuensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk jaringan 5G.
"Utilisasi dan pemanfaatan frekuensi 2600 MHz oleh tv berbayar tersebut sangat rendah. Terlebih lagi PNBP di sektor tv berbayar dibandingkan dengan industri telekomunikasi juga jauh lebih kecil. Sehingga memanfaatkan frekuensi 2600 MHz juga akan membawa dampak positif bagi APBN," ujarnya.
Selain frekuensi, penerapan 5G yang efektif dan efisien menurutnya membutuhkan regulasi network sharing. Pasalnya teknologi ini membutuhkan lebar pita frekuensi yang besar.
Padahal saat ini ketersediaan frekuensi juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu karena membutuhkan frekuensi yang besar, maka jarak antar BTS juga akan semakin dekat sehingga investasi yang dibutuhkan untuk menggembangkan 5G juga tidak sedikit.
"Jika tidak melakukan network sharing maka akan sulit menerapkan 5G yang efisien dan efektif. Sehingga penerapan network sharing seharusnya di teknologi baru dan area baru untuk penggembangan jaringan telekomunikasi. Tujuannya agar digital economy di Indonesia dapat segera tumbuh dan menarik investasi asing," terang Teguh.
Harapan Teguh agar network sharing ini dapat berjalan bisa ditempuh melalui RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang saat ini tengah dibahas antara Pemerintah dan DPR. Oleh sebab itu Teguh meminta agar pengaturan spectrum sharing untuk teknologi baru agar mendukung program strategis pemerintah dapat dicantumkan dengan jelas di dalam RUU Ciptaker.
"Kita ingin agar regulasinya benar-benar jelas. Kerangka hukumnnya harus ada terlebih dahulu. Tujuannya agar tidak ada lagi kasus pidana seperti yang pernah dialami oleh IM2. Selanjutnya Kemenkominfo harus segera membereskan frekuensi yang dapat dipergunakan untuk new technology. Sehingga semua aset dan sumber daya yang ada dapat didayagunakan secara maksimal. Semua ini ujung-ujungnya untuk mendukung perekonomian nasional," tutup Teguh.
(asj/afr)