Nantinya dari 10 calon KRT BRTI dari unsur masyarakat tersebut akan dipilih enam orang oleh Menkominfo untuk menduduki jabatan sebagai wasit di sektor telekomunikasi. Namun ada pihak yang menyayangkan dari 10 calon KRT BRTI tersebut, tiga orang terafiliasi dengan salah satu operator telekomunikasi tertentu.
Banyaknya calon KRT BRTI yang terafiliasi dengan salah satu operator tersebut juga disoroti oleh Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Ahmad Alamsyah Saragih. Menurutnya calon yang terafiliasi dengan operator tertentu, bahkan ada yang masih menjadi karyawan aktif operator tersebut, akan membuat potensi benturan kepentingan antara regulator dan operator tertentu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut komisioner Ombudsman tersebut, seharusnya sebelum calon KRT BRTI tersebut bergabung menjadi KRT BRTI, harus ada masa jeda beberapa tahun terlebih dahulu. Ini disebabkan tugas vital dari BRTI sebagai regulator yang harus independen dan bisa menjaga kerahasiaan perusahaan telekomunikasi yang diawasinya.
"Menurut saya tugas BRTI sangat vital yaitu menyangkut kerahasiaan perusahaan telekomunikasi tempat mereka bekerja dahulu, kerahasiaan perusahaan telekomunikasi yang akan diawasi oleh BRTI, kerahasiaan badan regulasi tersebut, relasi-relasi mereka saat ini dan kewajiban jangka pendek mereka saat ini. Meski tak ada regulasinya, namun dari sisi prinsip imparsialitas, mungkin Menkominfo dan panita seleksi bisa mempertimbangkan masa jeda untuk anggota KRT BRTI dari unsur masyarakat tersebut. Khususnya yang masih aktif menjadi karyawan salah satu operator," terang Alamsyah.
Jika prinsip imparsialitas di BRTI tidak diperhatikan, Alamsyah memperkirakan akan membuat rumit BRTI dalam prsepsi publik. Publik pastinya akan berspekulasi banyak seperti aneksasi dari kelompok bisnis atau operator tertentu yang menaruh orang-orangnya di badan regulasi. BRTI harus memperjuangkan sendiri untuk mengcounter presepsi dan membangun prinsip imparsialitas sendiri di hadapan di hadapan publik.
"Salah satu kunci dari governance adalah public trust. Public trust diabaikan itu sudah tak zamannya lagi. Apa lagi di dunia IT. Ombudsman berharap Menkominfo dan panitia seleksi BRTI mengabaikan social capital yang dinamakan public trust," jelasnya dalam keterangan yang diterima detikINET.
Operator memang bisa merekomendasikan KRT yang berasal dari unsur masyarakat. Tetapi para operator bisa merekomendasikan nama-nama public figure yang dianggap layak, independen dan mengerti mengenai industri telekomunikasi. Tujuannya untuk mensupport kepercayaan public kepada badan regulasi.
"Jadi seharusnya jalurnya operator bukannya malah menaruh orang-orangnya untuk duduk di BRTI seperti yang terjadi saat ini dengan dalih mencari orang yang berpengalaman di industri telekomunikasi. Harusnya operator memilih dari orang yang independen. Bukan untuk mewakili kepentingan operator tertentu. Tujuannya agar mereduksi aneksasi kepentingan dari salah satu operator," ujar Alamsyah.
Alamsyah meminta agar Menkominfo tak bermain-main dengan regulasi telekomunikasi, karena menyangkut industri fundamental. Nasib bangsa ini ke depan akan ditentukan oleh regulasi telekomunikasi yang otonom dan imparsial. Prinsip imparsialitas harus diterapkan secara baik dalam rekrutmen anggota BRTI. Jika tidak, akan merusak governance di sektor telekomunikasi ke depan.
Jika Menkominfo masih ngotot memilih KRT BRTI yang dekat dengan salah satu operator, Alamsyah yakin masyarakat akan semakin curiga terhadap sepak terjang Rudiantara dalam mengambil keputusan tersebut. Bahkan masyarakat akan membuka semua beneficial ownership dari operator yang 'menitipkan' karyawannya di BRTI baik itu secara formal maupun non formal dan mengkaitkannya dengan kekuasaan.
"Jika itu sampai terjadi maka akan sangat berbahaya. Membuat kepercayaan publik kepada pemerintah dan regulator rontok. Sehingga nanti publik bukan mencari tau benar atau salah lagi. Tetapi justru ketidakpercayaan kepada regulator. Ini membuat kontra produktif terhadap industri telekomunkasi," tutupnya.
(asj/krs)