Molornya penetapan biaya interkoneksi untuk layanan telekomunikasi antar operator seluler ini sudah berjalan lebih dari tiga tahun lamanya.
Pada Jumat pekan lalu, operator non dominan melakukan 'protes' kepada BRTI mengenai hasil verifikasi yang dibuat oleh BPKP. Hal itu dibenarkan oleh Komisioner BRTI Agung Harsoyo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya biaya interkoneksi itu harus dikembalikan kepada filosofi awalnya, yaitu sebagai cost recovery atau pengembalian biaya operasi dalam bisnis telekomunikasi akibat penggunaan jaringan operator lain. Bukan sebagai pendapatan. Sehingga tidak boleh ada operator yang diuntungkan atau dirugikan," tutur Agung, Selasa (27/2/2018).
Agung menjelaskan, sebelum BPKP melaksanakan tugas verifikasi, antara operator dan BRTI sudah memiliki nota kesepahaman, salah satunya terkait angka hasil verifikasi yang dilakukan BPKP. Pada nota kesepahaman itu, semua operator sepakat jika angka yang keluar dari verifikasi BPKP itu akan mengikat kepada seluruh operator.
"Angkanya memang mengikat, namun implementasinya tidak mengikat karena hasil BPKP itu hanya dijadikan rekomendasi saja. Seperti dalam menjalankan asimetris atau simetris. Dalam menetapkan biaya interkoneksi regulator akan menerapkan prinsip-prinsip good governance dan mekanisme yang transparan," ucap Agung.
Agung melanjutkan, sebenarnya biaya interkoneksi tak serta-merta mempengaruhi tarif pungut operator telekomunikasi. Disampaikan, perhitungan tarif pungut dipengaruhi oleh margin, biaya marketing dan biaya interkoneksi. BRTI berharap ketika biaya interkoneksi tersebut turun, maka akan membuat tarif pungut mengalami penurunan.
"Namun kenyataan yang selama ini terjadi tidak demikian. Misalnya biaya interkoneksi turun menjadi Rp 204 dan simetris, belum tentu tarif pungut akan turun. Kenyataannya tarif pungut berlipat-lipat kali dari biaya interkoneksi. Selama operator masih mematok margin yang besar, belum tentu tarif pungut akan turun. Sehingga biaya interkoneksi tak berdampak langsung kepada pelanggan," kata Agung.
Kominfo Abaikan Rekomendasi BPKP?
Hasil verifikasi dan angka yang dikeluarkan BPKP, dinilai BRTI sudah mendekati kenyataan yang sesungguhnya dari kondisi masing-masing jaringan operator. Sebab, dalam melakukan verifikasi BPKP juga sudah melakukan konfirmasi data tersebut kepada semua penyelenggara telekomunikasi.
Agung memberi contoh biaya interkoneksi Telkomsel yang mencapai Rp 245, sudah sesuai dengan kondisi dan pengembangan jaringan yang terus dilakukan oleh Telkomsel, khususnya di wilayah-wilayah terluar. Sehingga, kata Agung, menilai wajar apabila tarif interkoneksi Telkomsel di atas operator non-dominan.
Jika merujuk pada PP 52 tahun 2000 pasal 22 ayat 1, dijelaskan bahwa penetapan biaya interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis.
Lalu dalam Peraturan Menteri Kominfo 08 tahun 2006 tentang Interkoneksi, pasal 9 dijelaskan, Biaya Interkoneksi merupakan biaya yang timbul akibat penyediaan layanan interkoneksi. Lalu dalam Peraturan Menteri Kominfo No 01 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, pasal 13 disebutkan, dalam penyediaan interkoneksi harus memenuhi prinsip-prinsip transparan, tidak diskriminatif baik kualitas maupun biaya, diberikan dalam waktu yang singkat, berorientasi pada biaya (cost based) dan berdasarkan permintaan.
Melihat regulasi dan dinamika yang terjadi dalam tarik ulur penetapan biaya interkoneksi Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman mengatakan jika Kominfo tak mau segera menetapkan biaya interkoneksi, itu artinya Menkominfo melakukan pembiaran terhadap aturan yang sudah seharusnya di revisi secara berkala.
Menurut Alamsyah jika Menkominfo melakukan modifikasi terhadap rekomendasi BPKP, masih bisa dimaklumi. Namun jika Menkominfo semena-mena dalam mengambil keputusan dan terus menunda penetapan biaya interkoneksi, itu bisa tergolong mal adminsitrasi.
"Padahal aturan menggenai interkonkesi yang ada saat ini sudah tidak kompatibel lagi. Dan ini bisa merugikan konsumen dan industri telekomunikasi secara luas. Padahal biaya interkoneksi bisa dijadikan insentif bagi operator untuk membangun dan menggembangkan jaringan. Selain itu dalam melakukan verifikasi, Kominfo sudah mengeluarkan biaya. Jika mengabaikan rekomendasi BPKP itu artinya Menkominfo menghambur-hamburkan uang negara," pungkas Alamsyah. (agt/fyk)