Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Seluler Raih USD 16 Miliar, Lisensi Operator Mau Diubah

Seluler Raih USD 16 Miliar, Lisensi Operator Mau Diubah


Achmad Rouzni Noor II - detikInet

Foto: detikINET/Anggoro Suryo Jati
Jakarta - Pendapatan dari industri seluler di sepanjang tahun 2016 ini ditaksir oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara akan menembus angka USD 16 miliar.

Angka ini diyakini olehnya masih bisa naik lagi di tahun-tahun mendatang jika pengeluaran yang dikeluarkan oleh para operator bisa lebih efisien.

"Kita sekarang harus melihat dari sisi masyarakat pengguna, pendapatan industri tahun ini USD 16 miliar kan uang dari pelanggan," jelas Rudiantara di sela diskusi INDEF di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (3/11/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk itu, menteri pun berencana mengubah skema modern licensing para operator seluler mulai tahun 2017 mendatang. Sehingga, aturan baru tersebut bisa efektif berjalan di 2018.

"Semua modern licensing akan diubah berdasarkan user experience. Kalau mau naikin pendapatan ya harus lebih melayani masyarakat dari sisi service level," lanjut Chief RA, sapaan akrab menteri.

Namun sayangnya, menteri tak menjelaskan lebih detail apa saja perubahan yang akan terjadi dalam skema modern licensing. Ia pun belum membuka hasil evaluasi kewajiban modern licensing terhadap semua operator.

Masalah transparansi ini sebelumnya sempat dikritik oleh lembaga Ombudsman karena menurutnya, publik wajib diberi tahu agar pelayanan izin frekuensi terbebas dari diskriminasi dan maladministrasi.

"Amat disayangkan bahwa selama bertahun-tahun dokumen izin frekuensi tak dipublikasikan oleh Kementerian," tulis Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alamsyah Saragih.

Padahal, menurutnya, berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dokumen yang memuat hak dan kewajiban operator telekomunikasi tersebut masuk kategori informasi terbuka.

Ia juga mengatakan, publik tak cukup mengetahui perkembangan pelaksanaan kewajiban setiap operator. Kondisi ini memberi peluang terjadinya perlakuan istimewa terhadap salah satu operator dibanding yang lain.

Diingatkannya, frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas dan dikuasai oleh negara sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945. Kehadiran sektor swasta sebagai penyelenggara tak boleh dilihat sebagai pemilik frekuensi. Mereka hanya perpanjangan tangan negara dalam menjamin akses warga negara atas frekuensi.

Sementara, pemerintah sebagai penguasa frekuensi menerbitkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi, yang dikenal sebagai lisensi modern.

Berbeda dengan izin yang umumnya bersifat simetris, izin ini memungkinkan perbedaan kewajiban antaroperator berdasarkan kesepakatan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Diskresi ini dimaksudkan untuk memastikan operator membangun infrastruktur di wilayah kurang atau tidak terlayani.

"Izin yang tidak transparan membuka peluang maladministrasi yang berbuntut panjang. Gejala ini mulai tampak ketika dalam beberapa tahun Telkomsel lebih aktif dalam membangun infrastruktur sesuai dengan kewajiban yang dibebankan, sedangkan beberapa operator lain lebih berkonsentrasi di area padat pelanggan," katanya.

Masih menurutnya, kisruh tarif interkoneksi hanya rentetan dari persaingan tak sehat yang bersumber dari tata kelola izin yang tidak transparan pada masa lalu. Patut diduga telah terjadi maladministrasi dalam pemberian izin selama ini berupa praktek diskriminasi dalam pembebanan kewajiban antaroperator.

"Mengintervensi pasar melalui tarif interkoneksi tak akan menyelesaikan inefisiensi yang bersumber pada tata kelola perizinan. Apalagi secara umum biaya interkoneksi hanya mencapai 15% dari tarif retail.

"Maka, cara cerdas untuk keluar dari polemik ini adalah membuka dokumen izin frekuensi dan hasil evaluasinya ke publik. Setidaknya agar publik tahu bahwa pelayanan izin frekuensi terbebas dari diskriminasi dan maladministrasi," jelasnya lebih lanjut.

Sementara menurut mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Kamilov Sagala, modern lisensi memang seperti kontrak antara regulator dan operator. Jadi yang mengetahui hanya kedua belah pihak itu.

Namun, kalau ada lembaga yang meminta seperti Ombudsman atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), harusnya dibuka demi transparansi dan persaingan yang lebih sehat di sektor telekomunikasi.

"Kepentingan negara tetap harus diutamakan, dong," tegas Kamilov yang saat ini menjabat Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI).

Ia pun mengingatkan, permintaan resmi kelembagaan tentu atas dasar kepentingan publik lebih luas, sehingga hal itu dapat dibenarkan. "Permintaan kan datang dari lembaga yang jelas kredibilitasnya, wajar dong diberikan datanya," katanya. (rou/yud)







Hide Ads