Surat Edaran Interkoneksi, Sudahkah Sesuai Aturan?
Hide Ads

Surat Edaran Interkoneksi, Sudahkah Sesuai Aturan?

Adi Fida Rahman - detikInet
Sabtu, 10 Sep 2016 09:52 WIB
Anggota BRTI I Ketut Prihadi (Foto: detikINET/Achmad Rouzni Noor II)
Jakarta - Surat edaran interkoneksi yang menjadi pegangan oleh operator telekomunikasi Indonesia menuai pro kontra terkait kepatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku.

Dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sony Maulana Sikumbang mengungkapkan, surat edaran bukanlah salah satu jenis peraturan perundang-undangan.

Sebuah peraturan perundangan memiliki kekuatan hukum yang mengikat di masyarakat. Surat edaran tidak bersifat mengikat, satu-satunya surat edaran yang mengikat hanya surat edaran dari Bank Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ribuan surat edaran yang dikeluarkan oleh kementerian atau lembaga pemerintah itu bukan peraturan perundang-undangan. Surat edaran Kominfo bisa diikuti dan bisa juga tidak," kata Sony saat berbicara dalam seminar Aspek Persaingan Usaha dalam Penerapan Interkoneksi di Auditorium Gedung Program Megister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Jumat (9/9/2016).

Karena itu secara formal, keberadaan surat edaran Kominfo terkait interkoneksi dianggap tidak tepat untuk mengatur masyarakat. Sony pun menanyakan dasar pembentukan surat edaran tersebut dari sisi substansi hukum.

"Perintahnya tidak ada. Secara substansi kewenangan pun tidak ada untuk mengatur itu," tegasnya.

Ia menambahkan, undang-undang, PP dan PM hanya memberikan kewenangan kepada menteri untuk menetapkan formula bukan menetapkan besaran tarifnya. Karena berdasarkan undang-undang dari PP besaran tarif ditetapkan oleh pihak penyelenggara dengan kesepakatan.

"Untuk kepentingan interkoneksi, penetapan harusnya disepakati bersama. Mungkin pemerintah punya kepentingan besar di balik itu" kata Sony.

Menaggapi penilaian kontra tersebut, Anggota Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi yang turut menjadi pembicara mengatakan surat edaran posisinya di luar dari UU No 36 Tahun 1999, PP 52 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri (PM) No 8 tahun 2006. Fungsinya sebagai surat referensi bagi pihak BRTI untuk mengevaluasi Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) dominan.

Prihadi mencontohkan bila ada pihak yang meminta izin penyelenggaraan internet ke Kominfo. Maka Kominfo akan membalasnya melalui surat dan bukan berbentuk keputusan ataupun PM.

"Surat edaran ini merupakan produk tata usaha negara. Jika ada yang beranggapan di luar produk hukum peundang-undangan ya tidak apa-apa. Tapi surat edaran ini adalah produk tata usaha negara. Kebijakan yang diambil sesuai kewenangan menteri," papar Prihadi.

Adapun yang menjadi pegangan oleh operator adalah keputusan yang diambil setelah DPI sudah dievaluasi.

"Jika tidak sesuai referensi dari Menkominfo, BRTI akan memutuskan keputusan yang sifatnya memikat. Bila ada pihak yang tidak terima bisa menggugat," pungkasnya. (afr/ash)