"Kami melaporkan adanya dugaan potensi kerugian negara terkait Peraturan Menteri No. 8/2006 tentang biaya Interkoneksi yang akan diubah oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan kebijakan baru," ujar Manager Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi, di Gedung Ombudsman, Jakarta.
Menurut Apung, perubahan kebijakan tersebut tidak selevel dengan Peraturan Menteri yang hanya berupa Surat Edaran (SE) No.1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt Direktur Jenderal Penyelenggara Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemenkominfo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia memandang, isi surat tersebut terindikasi melanggar Peraturan Pemerintah (PP) No.52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Khususnya menyangkut penetapan tarif interkoneksi yang seharusnya didasarkan pada Pasal 22 dan 23 PP tersebut.
"Untuk itu, kami meminta kepada Ombudsman agar ikut terlibat dalam membatalkan kebijakan yang dinilai bisa berpotensi pada kerugian negara dalam jumlah besar," masih kata Apung.
![]() |
Seperti diketahui, jika mengacu pada peraturan lama, acuan biaya interkoneksi untuk seluler lintas operator adalah Rp 250 per menit panggilan telepon. Sementara di aturan baru, biayanya turun 26% menjadi Rp 204 per menit per panggilan telepon.
Sementara menurut Yaqut Cholil Qoumas, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKB, kebijakan penurunan biaya interkoneksi ini jangan sampai hanya menguntungkan operator swasta saja. Sementara di lain pihak, ada operator milik negera yang merasa dirugikan.
"Terkait dengan prinsip keadilan dan persaingan usaha yang sehat, maka perlu diberlakukan skema asimetris dalam perhitungan dasar biaya interkoneksi. Artinya, dengan skema asimetris, biaya interkoneksi harus cost based berdasarkan pada biaya yang dikeluarkan atas kerja keras membangun jaringan dan efisiensi dari masing-masing operator," ujarnya di gedung parlemen.
Yaqut pun menegaskan, pemerintah harus konsisten untuk menjalankan PP No. 52/2000, khususnya pada pasal 21, 22 dan 23. Khusus pada pasal 23 ayat 2 terkait biaya interkoneksi disebutkan, bahwa biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan perhitungan yang transparan, disepakati bersama, dan adil. "Berkaitan dengan itu, biaya interkoneksi merupakan cost recovery dari setiap operator," tegasnya.
![]() |
Berdasarkan hasil rapat Komisi I DPR dengan para operator, lanjutnya, didapatkan data jika cost recovery Telkom dan Telkomsel sebesar Rp 285 per menit. Sedangkan cost recovery operator lainnya, Indosat Ooredoo Rp 86 per menit, XL Axiata Rp 65 per menit, Smartfren Rp 100 per menit dan Hutchison 3 Indonesia Rp 120 per menit.
"Dengan demikian, tarif interkoneksi yang rencananya dikenakan sebesar Rp 204 per menit jauh di bawah cost recovery yang ditanggung oleh Telkom dan Telkomsel," terangnya.
Terkait wacana lebih lanjut dari biaya interkoneksi ini adalah revisi terhadap PP No. 52 dan PP No. 53, yang memungkinkan adanya network sharing untuk berbagi jaringan aktif.
"Jika hal tersebut terjadi, negara bisa mengalami kerugian yang besar karena para operator yang selama ini malas membangun jaringan, akan mendompleng jaringan Telkom dan Telkomsel, sehingga akan membuat penetrasi ketersediaan jaringan di wilayah Indonesia tidak akan bertambah," tuding Yaqut.
"Maka tidak tepat jika penurunan biaya interkoneksi ini ditujukan demi konsumen. Isu interkoneksi ini jelas adalah aksi korporasi saja yang ingin mendobrak dominasi Telkom dan Telkomsel dalam industri telekomunikasi, dan memperbesar setoran ke pemilik saham atau investor utama yang berada di luar negeri seperti Malaysia dan Qatar," paparnya lebih lanjut.
Dijelaskan, hal ini mengingat penurunan biaya interkoneksi sebesar Rp 46 per menit sesungguhnya tidak terlalu berdampak signifikan bagi konsumen. Komponen biaya interkoneksi setidaknya hanya berkontribusi rata-rata sebesar 15% dari total biaya tarif retail yang berada di kisaran Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per menit.
"Pada tataran ini, pemerintah seharusnya menyampaikan hasil perhitungan tarif interkoneksi yang transparan dari seluruh operator kepada publik," ujarnya.
Sementara, berkaitan dengan efisiensi, yang perlu dilakukan oleh semua operator mengelola biaya promosi secara efektif dan menetapkan margin yang wajar, sehingga biaya ritel yang dibebankan ke konsumen dapat lebih terjangkau.
![]() |
Seperti diketahui, rencana pemerintah untuk menerapkan regulasi baru terkait penurunan tarif interkoneksi menimbulkan polemik yang masih terus bergulir hingga saat ini. Penerapan tarif baru interkoneksi yang lebih rendah rata-rata 26% dari Rp 250 menjadi Rp 204 per menit, tadinya akan diberlakukan mulai 1 September 2016.
Namun demikian, kebijakan tersebut akhirnya ditunda mengingat belum semua operator telekomunikasi menyerahkan DPI (Dokumen Penawaran Interkoneksi), yang berisi skema, tarif, dan layanan interkoneksi suatu operator.
Operator yang telah menyerahkan DPI tersebut adalah Indosat, XL, Tri, dan Smartfren. Sedangkan, Telkom dan Telkomsel dengan tegas menolak menyerahkan DPI akibat tidak setuju dengan perhitungan tarif interkoneksi yang baru.
Selain itu, penundaan juga mempertimbangkan masukan dari Komisi I DPR RI agar pemerintah tidak tergesa-gesa dan berhati-hati dalam menurunkan tarif interkoneksi. (rou/rou)