Tudingan pro asing itu salah satunya disampaikan oleh Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis terkait rencana pemerintah merevisi kebijakan biaya interkoneksi dan Revisi Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (PP No.52 Tahun 2000) serta Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (PP No.53 Tahun 2000).
"Janji pemerintah untuk membeli kembali Indosat belum terlaksana, Menkominfo malah akan menerapkan kebijakan yang berpotensi merugikan satu-satunya BUMN telekomunikasi di Indonesia yaitu Telkom dengan rencana kebijakan perhitungan biaya interkoneksi, network sharing, dan spectrum sharing," ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dihitung deviden ke Singtel lebih besar. Laba bersih Telkomsel Rp 22,4 triliun. SingTel mendapat Rp 7,84 triliun, sementara negara hanya mendapat Rp 7,4 triliun," ungkapnya.
Terkait isu akan merugikan negara, Dian pun menampik kabar negatif tersebut. Sebab pada tahun lalu, Telkom disebutnya meraup total pendapatan Rp 97 triliun.
Pendapatan bersih interkoneksi sebagai net payer minus Rp 7 miliar. Sementara XL sendiri pendapatan dari interkoneksi sebesar Rp 100 miliar.
Jika interkoneksi turun maka biaya atau pendapatan tersebut bakal ikut turun. Tapi ini tidak begitu besar pengaruhnya pada pendapatan kotor.
"Keuntungan tahun lalu Rp 14 triliun. Jadi kalau rugi Rp 50 triliun ya tidak masuk akal," kata Dian.
Lebih lanjut dijelaskannya, apa yang dilakukan pemerintah sudah betul. Kalau mengikuti keinginan masing-masing operator tidak akan klop. Karena itu pemerintah menghitung dengan seimbang
"Seperti Pak Rudi (Menkominfo), regulasi yang betul kalau tidak ada yang happy. Pemerintah sudah mengambil perhitungan yang fair," ujar Dian.
Terkait perhitungan simetris dan asimetris. Dian mengatakan hal tersebut sudah 17 kali dibahas sebelum tarif interkoneksi yang baru ditetapkan Kominfo. Menurutnya, aturan asimetris terbalik jika dilakukan di Indonesia.
Sebab di luar, aturan asimetris dipakai kalau operator incumbent lebih efesien. Jadi pada saat telpon, operator tersebut membayar lebih mahal. Sementara operator lain membayar lebih murah.
"Jika asimetris diberlakukan, kita bayar ke operator incumbent jadi lebih tinggi. Sementara mereka bayar lebih murah ke kita. Ini akan membuat kompetisi semakin jauh," pungkas perempuan berkacamata ini.
Seperti diketahui pemerintah melalui Kementerian Kominfo resmi menetapkan penurunan tarif interkoneksi dengan rata-rata 26% untuk seluruh operator seluler di Indonesia mulai 1 September 2016.
Perubahan skema tarif itu sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi.
Penurunan biaya itu, seperti tertuang dalam Surat Edaran yang dirilis awal Agustus 2016, untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap, serta menggunakan pola perhitungan simetris.
Dengan adanya pola perhitungan baru itu, tarif interkoneksi untuk percakapan suara lintas operator (off-net) untuk penyelenggara jaringan bergerak seluler adalah Rp 204, turun dari sebelumnya Rp 250.
Hasil perhitungan biaya interkoneksi ini menjadi referensi bagi penyelenggara telekomunikasi (lokal dan selular) untuk diterapkan di sistem dan jaringan serta Point of Interconnection (PoI) di operator tersebut.
Biaya interkoneksi sendiri adalah biaya yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Biaya ini salah satu komponen dalam menentukan tarif ritel selain margin, biaya pemasaran, dan lainnya.
Formula perhitungan biaya interkoneksi ini ditetapkan oleh Pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.
Pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi dengan tujuan ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap ketersediaan infrastruktur.
Sedangkan dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan. (afr/ash)











































