'Interkoneksi Jadi Turun? Lihat Saja Besok di DPR'
Hide Ads

Ribut-ribut Interkoneksi

'Interkoneksi Jadi Turun? Lihat Saja Besok di DPR'

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Senin, 29 Agu 2016 19:28 WIB
Foto: Thinkstock
Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara telah menemui para petinggi operator telekomunikasi dalam dua kesempatan terpisah. Pertemuan pertama dengan kubu Telkom dan Telkomsel. Setelah itu dengan kubu oposisinya, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren Telecom dan Hutchison 3 Indonesia.

Menurut I Ketut Prihadi, Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang ikut mendampingi menteri dalam kedua pertemuan itu, belum ada perubahaan sikap antara pemerintah dan para operator yang berpolemik tentang penurunan biaya interkoneksi.

"Hasil pertemuan tadi kami hanya mendengarkan pendapat dari para operator tanpa ada posisi baru," ujar Ketut saat berbincang dengan detikINET sore ini, Senin (29/7/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang disampaikan oleh para operator kecuali Telkom Group adalah bahwa tarif interkoneksi memang perlu turun. Tadi kami hanya mendengarkan, belum ada tawaran apapun. Posisi pemerintah masih seperti yang ada dalam surat ke para operator. Kita lihat saja perkembangannya besok setelah rapat dengan DPR," paparnya lebih lanjut.

Sementara dalam kesempatan yang terpisah, President Director & CEO XL Axiata Dian Siswarini masih mengharapkan ada kepastian terkait penetapan biaya interkoneksi pasca pemerintah mengumumkan penurunan interkoneksi.

"Kami sangat berharap Surat Edaran yang dikeluarkan 2 Agustus itu ditetapkan menjadi Peraturan Menteri (PM) dan mulai berlaku sesuai jadwalnya yakni 1 September 2016," harapnya.

Menurutnya biaya interkoneksi yang tinggi di Indonesia menyebabkan trafik komunikasi antar operator menjadi rendah. "Sekarang untuk panggilan lokal seluler Rp 250 dan jarak jauh Rp 452. Angka yang dikeluarkan regulator untuk 1 September adalah Rp 204 untuk lokal dan Rp 304 untuk jarak jauh. Ini sebenarnya masih jauh di bawah harapan XL, tetapi kami tak masalah ditetapkan pada 1 September mendatang untuk kepastian menjalankan roda bisnis," tukasnya.

Diungkapkannya, jika ditanya versi XL, biaya interkoneksi untuk anak usaha Axiata ini Rp 65. "Itu kami pakai konsultan terkenal. Tetapi kita sadar penetapan biaya interkoneksi tak bisa lihat sisi teknis saja, ekonomis juga harus dilihat. Terlalu tinggi merugikan, terlalu rendah tak menarik bagi investasi," jelasnya.

Dian pun menegaskan, XL siap menurunkan tarif ritel jika biaya interkoneksi baru ditetapkan pada 1 September mendatang. "Sebenarnya kita sudah turunkan tarif ritel untuk salah satu produk. Tadinya Rp 300-an per menit sekarang menjadi Rp 31 menit. Kalau dilihat itu dibawah recovery cost karena kita hitung tadi Rp 65. Kita jualnya Rp 100-an per menit," ulasnya.

Namun ia mengingatkan, biaya interkoneksi sebenarnya dalam implementasi melalui kesepakatan business to business (B2B) antara operator, sedangkan porsi pemerintah menetapkan ceiling. "Jadi itu nanti tak seragam juga, tergantung negosiasi di lapangan," tukasnya.

Sementara President Director & CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli saat pertemuan antara seluruh operator dengan Komisi I DPR, menjelaskan bahwa penurunan biaya interkoneksi berperan penting dalam penciptaan iklim kompetisi yang sehat, mengurangi hambatan bagi pelaku, serta memacu industri untuk terus berusaha menjadi lebih efisien.

"Beri kami kesempatan untuk merasakan laba di luar Pulau Jawa seperti 'kakak' di sebelah ini," kata Alex merujuk kepada Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah dan Direktur Utama Telkom Alex J Sinaga yang kebetulan duduk di sampingnya saat rapat dengan DPR pekan lalu.

Diungkapkan olehnya, interkoneksi menjadi salah satu penghambat bagi Indosat bermain di luar Jawa. "Kita rugi di luar Jawa, kalau biaya interkoneksi diturunkan, biarkan kami mencoba menawarkan produk yang variatif ke pelanggan," keluh Alex Rusli.

Alex mengingatkan hitungan asimetris versi yang didengungkan Telkomsel berbeda dengan best practice di global. "Terminologi asimetris di dunia global seharusnya membuat operator dominan mengalah dengan operator kecil. Asimetris di global pada dasarnya menjaga iklim kompetisi agar yang dominan dan kecil tak terlalu jauh gap-nya. Kalau di sini pengertian asimetrisnya beda," kata Alex.

Sekadar diketahui, biaya interkoneksi merupakan salah satu komponen yang menjadi dasar tarif ritel yang dikenakan pada pelanggan. Selain interkoneksi masih ada unsur lain, seperti margin keuntungan yang diharapkan operator dan biaya promosi.

Setiap revisi biaya interkoneksi dilakukan, operator selalu terbelah. Polemik makin pelik karena Menkominfo Rudiantara menggunakan strategi mengeluarkan surat edaran ketimbang langsung memutuskan menetapkan menjadi PM dari hasil biaya interkoneksi.

Suasana makin rumit karena Telkom Group yang menjadi acuan hitungan sebagai operator dominan merasa proses perhitungan sudah meleset dari agenda semula.

Telkom Group mengutip Surat DJPPI No.60/Kominfo/DJPPI/PI.02.04/01/2015 tanggal 15 januari tentang permintaan pendapat terhadap konsep Whitepaper Penyempurnaan Regulasi Tarif & Interkoneksi dinyatakan Peraturan Menteri No 8/2006 pada dasarnya mengatur perhitungan interkoneksi secara asimetris.

Pilihan perhitungan ini karena ingin membantu operator dalam pengembalian investasi yang harus dimanfaatkan untuk menciptakan kompetisi yang sehat, perluasan jaringan, peningkatan kapasitas, dan kualitas layanan.

Dalam Whitepaper juga dinyatakan data input biaya elemen jaringan berbasis regional dan menjumlahkan setiap biaya jaringan seluruh regional dengan trafik nasional agar dapat diperoleh perhitungan yang akurat dengan mempertimbangkan kondisi setiap wilayah Indonesia.

Makin dramatis, Menkominfo Rudiantara diklaim oleh Telkom Group tak pernah membalas surat keberatan yang dikirimkan oleh mereka beberapa kali sejak 13 Juni hingga 12 Agustus 2016. Bahkan ketika ditemui siang ini, menteri juga masih bungkam soal surat keberatan Telkomsel. (rou/ash)