"Ketemu sama operator saja, mereka sampaikan pendapatnya mengenai interkoneksi," kata Menkominfo Rudiantara saat ditemui usai pertemuan di Gedung Kominfo, Jakarta, Senin (29/8/2016).
Pria yang kerap disapa Chief RA ini membantah pertemuan tersebut dilakukan terpisah antara pihak pro dan kontra terhadap aturan tarif interkoneksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal dari keterangan sebelumnya dari Plt Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Noor Iza disebutkan bahwa pertemuan yang berlangsung di lantai 7 gedung Kominfo itu memang sengaja dibagi dua sesi karena terkait NDA.
"Kenapa dipisah karena prosesnya memang begitu, menyangkut NDA (non disclosure agreement)," kata Noor Iza, Senin (29/8/2016).
Kembali ke Chief RA, ia mengatakan pertemuan tadi hanya mendengarkan pemikiran dari pihak operator. Jadi tidak ada keputusan yang dihasilkan.
"Kominfo cuma mendengarkan saja. Teman-teman (operator) pemikirannya seperti apa, tidak jauh berbeda dengan di DPR," katanya.
Hal yang sama diungkap oleh CEO XL Axiata Dian Siswarini. Ia mengungkapkan, pertemuan tadi sekadar memberi masukan kepada Kominfo terkait tarif interkoneksi.
"Cuma memberi input saja," ujarnya.
Terkait pro dan kontra terhadap penurunan tarif interkoneksi, Dian tidak mempersoalkan. Sebab hal itu keputusan masing-masing operator. Tapi dia berharap pemerintah segera memutuskan.
"Kalau tidak ada kepastian kan nggak enak," ujarnya, sembari tertawa.
|  CEO XL Axiata Dian Siswarini. | 
Lebih lanjut dikatakannya, pemerintah memang memiliki tugas untuk memutuskan (aturan). Meskipun di satu sisi, setiap keputusan pemerintah terkadang tidak memuaskan semua pihak.
"Saya sih maunya turun banyak lagi. Tapi keputusan di tangan pemerintah," pungkasnya.
Seperti diketahui pemerintah melalui Kementerian Kominfo resmi menetapkan penurunan tarif interkoneksi dengan rata-rata 26% untuk seluruh operator seluler di Indonesia mulai 1 September 2016.
Perubahan skema tarif itu sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi.
Penurunan biaya itu, seperti tertuang dalam Surat Edaran yang dirilis awal Agustus 2016, untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap, serta menggunakan pola perhitungan simetris.
Dengan adanya pola perhitungan baru itu, tarif interkoneksi untuk percakapan suara lintas operator (off-net) untuk penyelenggara jaringan bergerak seluler adalah Rp 204, turun dari sebelumnya Rp 250.
Hasil perhitungan biaya interkoneksi ini menjadi referensi bagi penyelenggara telekomunikasi (lokal dan selular) untuk diterapkan di sistem dan jaringan serta Point of Interconnection (PoI) di operator tersebut.
Biaya interkoneksi sendiri adalah biaya yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan. Biaya ini salah satu komponen dalam menentukan tarif ritel selain margin, biaya pemasaran, dan lainnya.
Formula perhitungan biaya interkoneksi ini ditetapkan oleh Pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.
Pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi dengan tujuan ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap ketersediaan infrastruktur.
Sedangkan dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan.
Mispersepsi
Sementara menurut Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi, Menkominfo dianggap salah melangkah dalam membangun ekosistem industri telekomunikasi yang sehat jika memaksakan penurunan biaya interkoneksi yang tak sesuai dengan recovery cost dari pelaku usaha.
"Saya kasih saran ke Pak Rudiantara soal keinginan menurunkan tarif seluler. Minta operator kurangi promosi tarif Rp 0 atau harga yang tak rasional yang biasanya ada ketika menawarkan kartu perdana baru, kurangi promosi yang tak efektif, dan minta marjin diturunkan sedikit. Baru tarif seluler turun," tegasnya.
Menurutnya, ada mispersepsi yang dikembangkan di masyarakat tentang biaya interkoneksi dan tarif seluler. "Biaya interkoneksi hanya 15% menyumbang tarif interkoneksi. Artinya komponen lain lebih besar yakni biaya aktivasi (termasuk promosi) dan marjin keuntungan. Kenapa dikembangkan terus salah paham ini menjadi gagal paham di ruang publik. Ini bikin publik bingung," kesalnya.
Dimintanya, regulator jangan merancukan isu biaya interkoneksi dengan penetapan tarif pungut ke pelanggan. "Penetapan biaya interkoneksi yang asimetris itu hak perusahaan, ini murni urusan perusahaan dengan perusahaan. Kalau tarif ritel mau murah saya sepakat, itu hak masyarakat untuk dapat tarif yang reliable dan terjangkau. Tapi kalau caranya melabrak semua pakem, ini sudah tak demokrasi lagi namanya," katanya.
Diingatkannya, network size dari masing-masing operator berbeda sehingga itu tercermin dari recovery cost yang dipaparkan kala Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi I pada tanggal 25 Agustus 2016 lalu.
Saat itu diungkapkan Cost Recovery dari XL sebesar Rp 65/menit, Indosat dengan cost recovery Rp 87/menit, Tri Indonesia dengan cost recovery Rp 120/menit, dan Telkomsel dengan Cost Recovery Rp 285/menit.
"Kominfo harus mengapresiasi pembangunan jaringan yang dilakukan Telkom Group selama ini dimana melebihi lisensi yang dimiliki. Terlihat dengan hadirnya BTS milik Telkomsel hingga ke pelosok dan harus menanggung rugi pula dari pengoperasiannya. Ayolah, ada nasionalisme sedikit. Katanya sekarang mau Nawacita," tukasnya.
Sekadar diketahui, industri telekomunikasi tengah menunggu keputusan strategis yang akan diambil Menkominfo Rudiantara terkait penetapan biaya interkoneksi pasca keluarnya Surat edaran dengan nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani Plt Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia tentang biaya interkoneksi.
Keputusan akan diambil usai Rudiantara mengumpulkan semua petinggi operator pada Senin (29/8/2016) dan berikutnya melakukan Rapat Kerja dengan Komisi I DPR pada keesokan harinya, Selasa (30/8/2016). (afr/ash)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 