Giliran Operator Buka-bukaan Soal Polemik Interkoneksi di DPR
Hide Ads

Giliran Operator Buka-bukaan Soal Polemik Interkoneksi di DPR

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Kamis, 25 Agu 2016 13:29 WIB
Foto: detikINET/Achmad Rouzni Noor II
Jakarta -

Setelah mendapat penjelasan dari Menkominfo Rudiantara, Komisi I DPR RI akan meminta klarifikasi dari seluruh operator telekomunikasi yang selama ini terbelah menjadi dua kubu yang berpolemik dalam kebijakan penurunan biaya interkoneksi.

Para operator telekomunikasi ini akan dipanggil siang ini, Kamis (25/8/2016). Dalam kesempatan ini, perwakilan sepuluh fraksi yang ada di Komisi I akan mempertanyakan alasan pro dan kontra terhadap kebijakan yang akan diberlakukan mulai 1 September 2016 nanti.

"Kami meminta kepada Menkominfo Rudiantara, jangan dulu mengeluarkan aturan atau memutuskan apapun sebelum para operator hadir di rapat selanjutnya," begitu ucap Effendi Simbolon dari Fraksi PDIP.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya lebih baik jika mengundang dan mengajak diskusi seluruh pihak yang terlibat, yaitu Menkominfo, operator yang pro dan operator yang kontra.

"Saran saya, ada baiknya kalau kita ingin mengelaborasi ini (interkoneksi), hadirkan saja seluruh pihak terkait. Tak perlu mengundang ahli. Cukup menteri sebagai pemerintah, kemudian operator yang pro dan kontra saja. Kita dudukkan bersama," kata Effendi.

Lebih lanjut, Effendi mengatakan sebaiknya DPR tidak terjebak dengan urusan korporasi karena interkoneksi bukan ranah mereka."Ranah kita itu kinerja menteri, tapi kalau perlu membahas ini ya kita bentuk Panja (panitia kerja) saja," terangnya.



Hal tersebut disetujui oleh Meutya Hafidz yang kemarin memimpin jalannya rapat kerja dengan menteri yang akrab disapa Chief RA tersebut. Anggota Komisi lainnya, Evita Nursanty, juga menyarankan hal yang sama.

"Kalau memang semuanya bisa hadir, akan kita gelar rapatnya. Yang jelas, sebelum pembahasan ini melibatkan para operator, pemerintah jangan mengeluarkan keputusan atau apapun itu," kata Meutya.

Meutya menambahkan, pihak Komisi I akan berupaya mengadakan rapat lanjutan dengan Menkominfo lagi pada pekan depan, sebelum kebijakan itu diberlakukan pada 1 September 2016.

Dalam rapat kemarin, Anggota Komisi I dari Fraksi PAN, Budi Youyastri mengatakan, pemerintah tidak punya kewenangan untuk memutuskan besaran penurunan biaya interkoneksi.

"Kewenangan pemerintah bukan terletak pada revisi interkoneksi, tapi sebatas menciptakan formulanya saja," katanya saat raker yang berlangsung hingga petang.

Anggota Komisi I lainnya, Elnino M. Husein Mohi mempertanyakan jika revisi biaya interkoneksi versi Menkominfo dijalankan per 1 September 2016 siapa operator yang diuntungkan atau dirugikan.

"Harus jelas ini siapa yang meraih keuntungan dari kebijakan ini. Kita ingin dengar dulu suara semuanya," tutupnya.



Rudiantara sendiri disarankan untuk tidak mengeluarkan Peraturan Menteri (PM) terkait biaya interkoneksi karena masih ada sejumlah hal yang harus diselesaikan sebelum kebijakan publik itu dilaksanakan.

"Saya sarankan ke Menkominfo untuk melihat kebijakan biaya interkoneksi itu bukan zero sum game alias sebagai peperangan yang harus dimenangkan pemerintah. Kebijakan publik itu untuk kepentingan semuanya, bukan golongan tertentu.

"Sebaiknya Pak Rudiantara menghormati permintaan Komisi I DPR yang menyarankan penundaan keluarnya PM sebelum aspirasi semua pihak diserap," kata Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala.

Menurutnya, ada sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan dalam revisi biaya interkoneksi sebelum ditetapkan dalam bentuk PM, diantaranya mencari persamaan dari perbedaan yang terjadi diantara pelaku usaha.

"Sudah jelas itu kemarin di media Dirut Telkomsel menyatakan keberatan dan Telkom Group kirim surat. Itu sudah dijawab belum surat mereka, sudah dicari titik temu belum? Jangan main klaim saja, ini kan zaman keterbukaan," tukasnya.

Diingatkannya, setiap revisi biaya interkoneksi selalu ada kesepakatan diantara operator terkait metode perhitungan yang dilakukan.

"Dulu sepakat pakai simetris. Sekarang kondisi berbeda karena ada yang segitu saja jaringannya, ada yang terus bangun. Tentu wajar ada kesepakatan baru. Tugas regulator itu memfasilitasi perbedaan ini, bukan ikut pula bermain di gendang salah satu pihak," tegasnya.

Ditambahkannya, Rudiantara harus fokus dengan obyektif dari revisi biaya interkoneksi yakni memberikan fairness dan insentif bagi pelaku usaha.

"Ini saya lihat tujuannya mau turunin tarif ritel, Indonesia ini nomor tiga termurah di Asia untuk suara dan data, mau turun sejauh mana lagi? Sekarang infrastruktur telekomunikasi belum merata, dipaksa turun lagi buat bangun dimana, recovery cost yang dari biaya interkoneksi diturunkan," ulasnya.

Penjelasan Menkominfo



Sementara Menkominfo Rudiantara sendiri tetap berpegang teguh pada pendapatnya bahwa interkoneksi adalah hak dan kewajiban bagi semua penyedia operator.

Persiapan soal penurunan tarif interkoneksi disebut telah berlangsung sejak tahun lalu dan semua operator telah diajak bicara sejak Mei 2015 hingga Januari 2016.

"Indonesia itu ada di rezim multi operator. Kalau monopoli, tidak ada interkoneksi. Operator wajib membuka jaringan dan mereka punya hak untuk berinterkoneksi," jelasnya dalam raker di Komisi I.

Ditegaskan olehnya, ia memang akan melakukan konsolidasi industri dengan mengubah modern licensing. "Interkoneksi bukan pendapatan dan biaya. Dan itu hak dan kewajiban. Kalau tidak ada interkoneksi itu pengerdilan."

Ia juga menegaskan bahwa, kebijakan ini hanya opsi dari pemerintah. Sementara kesepakatannya akan dilakukan oleh masing-masing operator dalam pembicaraan bisnis (B2B).



"Tarif yang dikeluarkan dalam surat edaran sudah fair, tren perhitungan interkoneksi turun. Dari 2008 sampai 2016, tarif interkoneksi flat. Padahal interkoneksi teknologinya sudah depresiasi," katanya.

Sementara soal simetris dan asimetris, menteri setuju jika dihitung berdasarkan zona wilayah yang telah dibangun atau asimetris regional.

"Misalnya, operator Y cuma sampai di Jawa jaringannya, dan operator X sampai Papua. Begitu operator Y mau telepon ke Papua, dia harus bayar lebih ke operator X," kata Chief RA.

Kemudian terkait angka penurunan 26%, dijelaskan olehnya, hal itu sudah melalui formula yang sudah dikonsultasikan bersama sebuah firma konsultan independen selama 10 tahun terakhir.

"Jadi kalau yang sekarang ini turun dibilang salah, berarti yang sebelumnya salah semua dong," ujarnya seraya mengatakan hanya 26% dari 15% komponen tarif retail keseluruhan yang turun. "Artinya cuma turun 3,7% saja," pungkasnya.



(rou/fyk)