Alasan Mengapa Tarif Interkoneksi Harus Turun
Hide Ads

Alasan Mengapa Tarif Interkoneksi Harus Turun

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Rabu, 10 Agu 2016 08:45 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Tak semua pihak berseberangan dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara saat menetapkan pola biaya interkoneksi secara simetris yang besarannya sama untuk semua operator telekomunikasi.

Di saat sejumlah mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) periode lama mengkritik kebijakan ini, ternyata ada beberapa pula yang mendukung langkah yang ditempuh menteri yang akrab disapa Chief RA ini.

Salah satunya Bambang P Adiwiyoto, mantan anggota komite BRTI periode 2006-2009. Dalam email yang diterima detikINET, Rabu (10/8/2016), ia membeberkan alasannya mengapa tarif interkoneksi harus turun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tarif interkoneksi harus turun karena tarif interkoneksi yang berlaku sekarang ini sudah terlalu tinggi. tarif yang tinggi menyebabkan perpindahan surplus konsumer ke surplus produser," demikian ia mulai menjelaskan.

Seperti diketahui, Kementeria Kominfo telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2016 dimana menghasilkan penurunan secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap sekitar 26%.

Sebelumnya, tarif interkoneksi untuk panggilan lokal seluler sekitar Rp 250. Dengan adanya perhitungan baru ini, maka per 1 September 2016 menjadi Rp 204 per menit.



Berikut adalah penjelasan lengkap yang disampaikan Bambang:

Pada dasarnya penetapan suatu tarif bukan issue bisnis (tidak mempergunakan ilmu bisnis) tetapi issue ilmu ekonomi, jadi penetapan tarif tidak dapat dikaitkan dengan biaya produksi operator.

Pada dasarnya perhitungan biaya telekomunikasi dapat mempergunakan salah satu metode, yaitu (1) Historical-Cost Approach, (2) Forward-Looking Approach, atau (3) Pendekatan Biaya Interkoneksi.

Sementara itu regulator di Indonesia telah menetapkan Forward-looking Approach sebagai cara untuk menghitung biaya. Pendekatan dengan cara ini mempergunakan model ekonomi-teknik yang memperhitungkan biaya elemen jaringan sehingga menghasilkan jasa dengan mempergunakan elemen tersebut.

Model ini menghitung biaya untuk membangun kembali elemen jaringan spesifik dengan mempergunakan teknologi yang ada, mengasumsikan bahwa biaya operasi dan modal dimanfaatkan secara efisien.

Model pendekatan ini termasuk (1) Long Run Incremental Cost (LRIC), (2) Total Service Long Run Incremental Cost (TSLRIC), dan (3) Total Element Long Run Incremental Cost (TELRIC).

Dalam pada itu berdasarkan kesepakatan bersama dipilih Long Run Incremental Cost (LRIC). Adapun Long Run Incremental Cost (LRIC) adalah incremental cost yang timbul dalam jangka panjang dengan tambahan volume untuk produksi spesifik.

Biasanya LRIC dihitung dengan memperkirakan biaya yang menggunakan teknologi saat ini dan standar kinerja terbaik yang ada. Pada saat kajian biaya didasarkan pada biaya operator yang efisien fasilitasnya dan teknologi yang dipergunakan, biasanya mengacu pada metodologi tipe LRIC.

Selain itu LRIC juga memperhitungkan prediksi kenaikan permintaan di masa mendatang, sehingga tercipta kondisi penawaran dan permintaan (supply dan demand) yang menetapkan tarif.

Keberadaan joint atau common cost mengakibatkan jumlah LRIC seluruh jasa operator akan lebih kecil dari pada biaya total operator. Dengan demikian operator tidak dapat menutup seluruh biaya.

Regulator dapat memberikan mark up yang ditambahkan ke LRIC atau biaya tipe LRIC operator untuk membantu operator menutup seluruh biaya.

Hal yang menjadi kelemahan metode ini adalah cara ini dapat mengakomodasikan ketidakefisienan operasi atau teknologi yang dimiliki operator incumbent dan melimpahkan ketidakefisienan operator incumbent tersebut kepada operator yang mendapat interkoneksi.

Hal ini menyebabkan tarif jasa yang diberikan kemungkinan dapat lebih rendah apabila operator mempergunakan teknologi atau praktik manajemen yang efisien.

Suatu common practices yang berlaku di sebagian besar negara di dunia, penetapan tarif telekomunikasi (tarif interkoneksi, tarif terminasi) menggunakan forward-looking approach.

Model ini menghitung biaya untuk membangun kembali elemen jaringan spesisfik dengan mempergunakan teknologi yang ada, dengan asumsi bahwa biaya operasi dan modal dimanfaatkan secara efisien.

Telah disepakati bersama bahwa regulator telekomunikasi Indonesia mempergunakan pendekatan Long Run Incremental Cost (LRIC) sebagai cara untuk menghitung tarif.

Sampai dengan tahun 2015, Telkomsel ditetapkan sebagai acuan karena dianggap operator STBS paling efisien. Namun berdasarkan perhitungan terakhir, yang telah disampaikan dan diketahui oleh regulator, ada operator STBS lain yang dinyatakan paling efisien, dimana memiliki tarif interkoneksi paling rendah, bahkan jauh lebih rendah daripada Telkomsel.

Namun demikian regulator tetap mempergunakan angka perhitungan Telkomsel sebagai acuan perhitungan tarif telekomunikasi.

Dalam pendekatan LRIC, salah satu faktor utama adalah prediksi kenaikan permintaan (demand) trafik dan weighted average cost of capital (WACC). Dengan mempergunakan pendekatan LRIC permintaan trafik yang meningkat mengakibatkan tarif telekomunikasi berpotensi turun.

Dalam perhitungan dan disampaikan kepada regulator, tarif interkoneksi Telkomsel adalah sebesar Rp204; angka ini jauh lebih besar daripada angka yang dimiliki salah satu operator STBS.

Hal ini menyebabkan tarif telekomunikasi menjadi mahal sekali. Apabila regulator akan tetap mempergunakan angka perhitungan Telkomsel sebagai acuan yang mengakibatkan sangat tingginya tarif telekomunikasi, maka konsumer berhak menuntut regulator dan Telkomsel karena menzalimi dan menyakiti hati konsumer dan bertentangan dengan ayat (3) Pasal 33 UUD, yang berbunyi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Untuk tidak membuat keadaan semakin silang pendapat dan argumen, serta mencegah regulator dituduh ikut menzalimi dan menyakiti hati rakyat consumer, dan apabila regulator tetap mempergunakan metode LRIC seyogyanya regulator segera melakukan perhitungan ulang tarif interkoneksi dengan mengacu kondisi operator yang paling efisien.

Hal ini dilakukan dalam upaya operator menetapkan tarif telekomunikasi yang berdampak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebagai upaya untuk mempromosikan dan mendorong persaingan usaha yang sehat di industri telekomunikasi seharusnya tarif interkoneksi yang ditetapkan regulator merupakan tarif batas atas bukan tarif batas bawah. Masing-masing operator akan menetapkan tarif pungut berdasarkan kondisi setempat (specific location), tarif pungut tidak dapat one fits size for all.

Dengan skenario ini operator yang memiliki tarif interkoneksi lebih rendah dibandingkan dengan operator lain akan tetap bertahan, namun adalah salah satu tugas regulator agar tidak terjadi persaingan usaha saling mematikan yang menyebabkan ti ji ti beh.

(rou/rou)
Berita Terkait