Hal itu disuarakan oleh dua orang mantan anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Kamilov Sagala dan Muhammad Ridwan Effendi.
"Perhitungan tarif interkoneksi yang diumumkan itu saya ibaratkan sebagai dagelan yang sama sekali tak lucu dari Kementrian Kominfo. Itu harus dibatalkan dan dihitung lebih transparan serta taat aturan. Masak pemerintah menabrak aturan yang dibuatnya sendiri," tegas Kamilov di Jakarta, Senin (8/8/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hasil perhitungan ugal-ugalan ini pemangkasan biaya interkoneksi yang menabrak kebijakannya sendiri. Ini sudah anti demokrasi," sungut Kamilov yang kini menjabat Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI).
Dijelaskannya, jika merunut kepada Peraturan Pemerintah (PP) No 52/2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi pada pasal 22 ayat 3 diberi ruang upaya hukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
"Jadi penetapan tarif interkoneksi ini apabila tidak memenuhi unsur transparansi dan keadilan bisa ditindaklanjuti melalui peradilan. Nah, sekarang kita tunggu ada yang mau bawa ke pengadilan atau tidak sebagai pembelajaran ke penguasa dalam mengambil sebuah kebijakan," tegasnya.
Sementara Ridwan yang kini menjabat Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, mengungkapkan dalam perhitungan tarif interkoneksi terbaru pemerintah memaksa operator dominan menjual di bawah biaya jaringan.
"Saya mendukung jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan mengaudit BRTI dan Kemenkominfo guna melihat proses perhitungan biaya interkoneksi tersebut.
"Sewaktu di BRTI, saya selalu terlibat dalam perhitungan tarif interkoneksi. Yang terakhir di saat-saat transisi masa jabatan saya, memang belum selesai, tapi kalau saya lihat kecenderungannya seharusnya minimal tetap atau bahkan naik," ungkap Ridwan.
Seperti diketahui, Kemenkominfo telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2016 dimana menghasilkan penurunan secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap itu sekitar 26%.
Sebelumnya, tarif interkoneksi untuk panggilan lokal seluler sekitar Rp 250. Adanya perhitungan baru maka per 1 September 2016 menjadi Rp 204 per menit.
Bagi sebagian kalangan biaya ini cukup murah dibandingkan Jepang dan Filipina yang kondisi geografisnya tak jauh berbeda dengan Indonesia. Jepang memberlakukan biaya interkoneksi berkisar Rp 1.447 hingga Rp 2.108 per menit. Sedangkan untuk Filipina menetapkan Rp 1.184 per menit.
Dalam perhitungan terbaru ini regulator dianggap tak sejalan dengan dokumen konsultasi publik untuk tarif interkoneksi pada 2015 dimana ingin adanya regionalisasi tarif interkoneksi. Saat itu kebijakan ini dianggap angin segar karena hampir tujuh tahun, biaya interkoneksi dihitung secara nasional.
Regionalisasi perhitungan data input biaya dalam perhitungan interkoneksi bertujuan untuk mengakomodir kekuatan sebaran jaringan yang berbeda antar penyelenggara di setiap daerah ke dalam perhitungan biaya interkoneksi nasional.
Namun, perhitungan tarif interkoneksi baru memilih penerapan perhitungan pola simetris atau tidak berbasis biaya penggelaran jaringan yang telah diinvestasikan oleh masing-masing operator. (rou/ash)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
  
 