Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
'Network Sharing Bikin Operator Makin Malas Bangun Jaringan'

'Network Sharing Bikin Operator Makin Malas Bangun Jaringan'


Achmad Rouzni Noor II - detikInet

Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Aturan network sharing dikhawatirkan malah bisa membuat operator telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dikuasai asing jadi semakin malas membangun jaringan hingga ke pelosok negeri.

Kekhawatiran itu disampaikan Muhammad Ridwan Effendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, yang sempat menjadi anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

"Network sharing bukan diperuntukkan untuk membantu operator telekomunikasi yang malas membangun jaringan. Para operator asing hanya menjadikan network sharing sebagai kedok agar dapat mengefisiensikan biaya belanja modal dan operasionalnya," sesalnya kepada detikINET, Selasa (19/7/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Operator yang dimaksud Ridwan tak lain adalah operator yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh asing. Meskipun mereka punya lisensi nasional, namun komitmen pembangunannya belum sesuai dengan modern licensing.

Alhasil, para operator itu pun, masih kata dia, terus mendorong keluarnya regulasi network sharing di Indonesia melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP 53 tahun 2000 tentang spectrum sharing.

Revisi PP No 52 rencananya akan mengubah perihal modern licensing bagi penyelenggara telekomunikasi dengan tidak lagi menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur tetapi di service level agreement (SLA). Sedangkan Revisi PP No 53 rencananya akan membuka peluang penggunaan frekuensi secara bersama oleh operator.

"Mereka memang sudah niat malas bangun kok. Mustinya dulu kita cari investor asing yang benar-benar niat membangun, bukannya malah cari kreditan dari bank di dalam negeri. Mereka mustinya bawa dolar dong masuk ke sini," sesal Ridwan lagi.

Sebagai mantan regulator telekomunikasi, ia pun berpendapat, jika operator merasa tidak mampu memenuhi komitmen pembangunannya sesuai lisensi yang dimiliki, sebaiknya izin yang ada dikembalikan saja ke pemerintah.

"Bagi operator yang nggak mau bangun, silakan kembalikan lagi saja izin penyelenggaraan sama izin frekuensinya. Biar diadakan tender internasional terbuka. Jangan pintarnya minta insentif dari pemerintah saja," cetusnya.

Seperti diketahui, di industri seluler Tanah Air saat ini ada beberapa operator yang sahamnya mayoritas dikuasai asing. Mulai dari Indosat Ooredoo, XL Axiata, hingga Hutchison 3 Indonesia.

Wakil Ketua Desk Ketahanan dan Keamanan Cyber Nasional Kemenkopulhukam, Marsekal Pertama Prakoso menyarankan, operator yang mayoritas sahamnya dikuasai asing juga harus terlibat dalam membangun jaringan telekomunikasi yang terintegrasi dengan pemerintah hingga ke area terpencil dan daerah perbatasan.

"Meskipun mereka adalah perusahaan asing, namun mereka juga harus memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan nasional khususnya dalam ketahanan nasional di bidang telekomunikasi dan cyber. Karena mereka telah melakukan kegiatan usaha dan memakai frekuensi yang jadi sumber daya terbatas milik negara," tegasnya.

Maksudnya, lanjut Prakoso, agar tak hanya satu jaringan telekomunikasi saja yang ada di daerah perbatasan atau di daerah terpencil. Tujuannya adalah jika terjadi kegagalan dalam satu jalur jaringan, masyarakat punya alternatif dan tidak memakan waktu yang lama.

"Pembangunan jaringan oleh operator melekat dalam kewajiban modern licensing. Seandainya ada network sharing pun tak boleh melupakan khitah operator penyelenggara jaringan untuk tetap membangun infrastruktur telekomunikasi di Indonesia," ujarnya.

Namun sayangnya, kondisi ideal itu belum juga tercapai. Karena menurut Prakoso, selama ini operator telekomunikasi yang sahamnya dikuasai investor asing hanya mau membangun di daerah yang dinilai punya nilai ekonomis tinggi saja.

"Padahal Indonesia bukan hanya di Jakarta atau di Jawa saja. Jangan sampai network sharing hanya dijadikan alasan bagi operator telekomunikasi untuk tak membangun jaringan telekomunikasi di daerah terpencil," tegasnya.

Soal pembangunan di daerah non ekonomis, baik Ridwan maupun Prakoso coba menyarankan kepada para operator kepemilikan asing itu untuk meniru langkah berani Telkomsel yang berani berinvestasi di daerah terpencil.

"Di laporan keuangan Telkomsel itu ada 16.000 BTS harus disubsidi setiap bulannya demi melayani masyarakat di wilayah yang operator asing tak mau masuk. Jadi, saya bingung kalau ada operator yang enggan membangun didukung pemerintah, sementara ada yang sudah bersusah payah, malah mau dibebani lagi," kata Ridwan.

Anggota Dewan TIK Nasional (DetikNas) Garuda Sugardo menambahkan jika network sharing tidak diikuti dengan komitmen pembangunan infrastuktur, pihak yang paling diuntungkan adalah operator telekomunikasi asing.

Sebab, operator telekomunikasi asing tak perlu susah payah membangun jaringan di wilayah terpencil atau kurang menguntungkan. Mereka cukup mendompleng operator penyelenggara jaringan yang sudah ada.

"Menurut saya konsep berbagi jaringan itu saling berbagi bukan yang satu berbagi tapi yang lain minta bagian. Itu tidak adil dan bertendensi berpihak. Apalagi kepada operator yang sudah menggadaikan jaringan kepada vendor secara managed service," ujarnya.

Garuda menegaskan, tidak ada keharusan pemain seperti Telkomsel untuk menerima konsep network sharing dengan sesama operator seluler, selama Telkomsel hanya diposisikan selaku donatur network. Jika diposisikan saling berbagi dan memenuhi koridor business-to-business, lanjutnya, mungkin Telkomsel bisa menerima konsep network sharing.

"Pemerintah harus mewaspadai operator pemalas yang enggan membangun infrastruktur telekomunikasi. Padahal mereka telah mengantungi izin penyelenggaraan operator jaringan dan operator layanan," ketus Garuda.

(rou/rou)





Hide Ads