Kondisi terisolasi telekomunikasi ini pun membuat para masyarakat di wilayah tersebut jadi minim informasi. Ujung-ujungnya ekonomi mereka pun berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Seperti diungkapkan Badar, General Manager Sales Region Sumbagsel Division Telkomsel, banyak daerah terpencil di wilayah yang dinaunginya — Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung dan Lampung — yang masih terjajah dari aspek telekomunikasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Telkomsel masuk Soah di tahun 2015, saat itu wilayah tersebut belum ada sinyal seluler sama sekali. Dimana ini juga berdampak pada akses informasi masyarakat Soah," ujar Badar saat berbincang dengan detikINET di sela acara pendaratan Ekspedisi Langit Nusantara di Palembang.
Terkait sektor ekonomi misalnya, Badar menuturkan, para petani Soah sebelumnya sangat bergantung dengan para tengkulak ketika ingin menjual hasil panennya. Sebab mereka tidak tahu berapa sebenarnya harga pasar yang layak bagi hasil panen tersebut.
"Tapi sejak adanya akses telekomunikasi masuk, petani lokal merasa sangat terbantukan. Di situlah kita (Telkomsel-red.) juga punya misi untuk memerdekakan daerah terpencil, mengangkat ekonomi mereka. Dan karena mereka merasa sangat terbantu, aset tower Telkomsel dianggap milik mereka dan ikut menjaga tower kita," lanjutnya.
Kondisi serupa juga terjadi di Pulau Enggano yang harus ditempuh selama 16 jam naik kapal dari Bengkulu. Dimana Telkomsel juga dikatakan sebagai pendobrak tembok isolasi telekomunikasi di wilayah dengan penduduk sekitar 200 ribuan itu.
"Kondisinya sama juga ketika jaringan kita (Telkomsel-red.) masuk, ekonomi mereka juga langsung tumbuh," ujar Badar.
Badar pun punya pengalaman lain yang tak kalah menyentuh saat menjelajah wilayah Sungai Jeruju. Dimana ketika itu ia sampai didatangi oleh perwakilan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan aparat desa yang sangat mengharapkan adanya tower telekomunikasi sehingga wilayahnya tak lagi terisolasi.
"Di Sungai Jeruju itu ada pelelangan ikan, ada kapal-kapal induk di sana. Mereka (LSM-red.) bilang 'pak, tolong bangunin tower di sini'. Sebenarnya sudah ada di dekat situ, tapi jaraknya 21 km terdekat sinyalnya. Jadi nelayan harus merapat dulu untuk mendapat sinyal," ungkap Badar.
"Jadi Sumbagsel (Sumatera bagian Selatan) itu luasnya luar biasa dan sektor ekonomi di wilayah remote itu sebenarnya luar biasa. Nah, kami di sini tak cuma berbisnis di tengah kota, tapi juga ingin memerdekakan telekomunikasi di wilayah mereka sehingga bisa membantu para petani, UKM, nelayan dan lainnya," tambahnya.
Cuma niat memerdekakan wilayah yang terisolasi itu kerap kali terhadang oleh masalah ketersediaan listrik. Dimana ini membuat Telkomsel harus memboyong genset untuk menghidupi tower telekomunikasinya.
"Jadi masuknya akses telekomunikasi Telkomsel itu tak sekadar bisnis. Tapi juga ada tujuan untuk mengangkat masyarakatnya. Bayangkan ketika petani dan nelayan dengan tidak adanya telekomunikasi itu sering dimanfaatkan oleh para oportunis, harga produk masyarakat ditekan murah karena gak punya informasi. Jadi kasihan mereka (masyarakat-red.) dan terima saja dengan harga yang ditawarkan karena gak tahu apa-apa," Badar melanjutkan.
Ironisnya, wilayah yang terisolir telekomunikasi seperti yang dipaparkan Badar jumlahnya masih banyak lagi di Sumatera bagian selatan. Seperti di Ogan Komering Ilir dan daerah Bengkulu, hampir semua propinsi ada daerah yang terisolasi.
"Tetapi ada kepuasan batin saat kita membuka akses telekomunikasi ke mereka. Semuanya harusnya paling tidak punya kewajiban untuk membuka akses telekomunikasi seperti ini, jangan cuma bicara bisnis," pungkasnya.
Ayo ikuti Ekspedisi Langit Nusantara dan jadilah saksi keindahan Bumi Indonesia.
(ash/fyk)











































