Demikian diutarakan Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Dimitri Mahayana. Hanya saja pemerintah perlu konsisten dalam implementasinya, terutama dalam penegakkan hukum pada pelanggaran ke depan.
Menurut Dimitri, SE tersebut sebuah kemajuan signifikan di tengah The War of The Worlds (Perang Antar Cyberspace dan Physical Space).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karenanya, merujuk situasi tadi, Dimitri mengatakan tiga alasan SE tersebut signifikan dan umpama air sejuk oasis di padang pasir.
Pertama, surat edaran ini mendefinisikan satu hal yang sangat penting dalam kesetaraan hukum antara para pelaku bisnis dan aplikasi di cyberspace dengan di physical space. Keberadaan badan hukum yang jelas menjadi suatu keharusan. Dan bila beroperasi di Indonesia, maka harus ada badan hukum di Indonesia.
Hal ini merujuk pasal 5.2 yakni Penyedia Layanan Over the Top berbentuk perorangan Warga Negara Indonesia, atau badan usaha Indonesia yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Termasuk pasal 5.3 yakni Selain penyedia Layanan Over the Top ketentuan sebagaimana disebut dalam pada angka 5.2, Layanan Over the Top dapat disediakan oleh perorangan atau badan usaha asing dengan ketentuan wajib mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap didirikan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
"Jadi Whatsapp, Facebook, Google, Uber, Grab , dll wajib mendirikan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia. Entitas ini tentu amat penting, dan merupakan langkah awal amat baik dalam menuju kesetaraan hukum dengan para pelaku bisnis di physical space," tegas Dimitri.
Kedua, beberapa hal yang amat penting bagi kedaulatan NKRI telah diakomodir dengan baik oleh Surat Edaran ini. Di antaranya, masalah data dan filtering konten, serta payment.
Misalnya pada pasal 5.5.2 yakni melakukan perlindungan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian pasal 5.5.3 yakni Melakukan filtering konten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Selanjutnya pasal 5.5.4 yakni melakukan mekanisme sensor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Juga pasal 5.5.5 tentang menggunakan sistem pembayaran nasional (national payment gateway) yang berbadan hukum Indonesia," ungkapnya.
Ketiga, Surat Edaran memberikan penekanan khusus ancaman laten konten negatif terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat di NKRI.
Pasal 5.6Β Penyedia Layanan Over The Top dilarang menyediakan layanan yang memiliki muatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lalu terkait pula pasal 5.6.2 yakni menimbulkan konflik atau pertentangan antar kelompok, antar-suku, antar-agama, antar-ras, dan antar-golongan (SARA), menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama.
Selanjutnya, pasal 5.6.3 tentang mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, kekerasan, penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, merendahkan harkat dan martabat manusia, melanggar kesusilaan dan pornografi, perjudian, penghinaan, pemerasan atau ancaman, pencemaran nama baik, ucapan kebencian (hate speech), pelanggaran hak atas kekayaan intelektual.
"Persoalannya kemudian adalah bagaimana implementasi regulasi layanan aplikasi dan atau konten melalui implementasi regulasi ini? Bagaimana konsistensi pemerintah melaksanakan regulasi ini?" tanya Dimitri, seraya menambahkan apa sanksi yang akan diperoleh OTT yang melanggar peraturan ini.
Menurut Dimitri, beberapa saat lalu Netflix diblokir karena tidak sesuai terhadap aturan sensor di Indonesia. Bila sikap tegas seperti ini dipertahankan dan pemerintah konsisten menjalankan isi Surat Edaran ini, maka Sharing Vision memproyeksikan Indonesia akan melesat maju dalam membangun tatanan yang harmonis dalam era konvergensi saat ini.
"Singkatnya, pemerintah harus memperkuat arah yang sudah baik. Agar pemerintah konsisten dalam kebaikan," pungkasnya. (ash/fyk)