Menurut Roberto Saputra, Direktur/Chief Brand Officer Smartfren, babak pertama 4G ditandai dengan bergeraknya seluruh operator telekomunikasi merilis layanan teknologi telekomunikasi generasi keempat tersebut.
"Namun kan sekarang pertanyaannya, what is the next game after 4G? The game adalah carrier aggregation," tegas Roberto saat berbincang dengan sejumlah media termasuk detikINET di sela kunjungan ke pabrik LG Innotek di Korea Selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data yang dirilis Open Signal, layanan 4G Smartfren bahkan disebut memiliki jangkauan terluas di Indonesia untuk saat ini dan menempatkannya di posisi 32 dunia, berada di atas kompetitornya di pasar lokal.
"Speed bagaimana? Kita juga deliver tapi bedanya tadi, karena kita prioritas coverage, memang di kota besar speed kita tinggi, tapi di kota kecil kita cover dengan FDD dengan frekuensi 5 MHz yang tadi, jadi speed-nya memang belum bisa cepat. Tapi kan tergantung usage, yang paling banyak kan di kotanya," terang Roberto.
Kembali ke soal carrier aggregation, ini merupakan teknologi yang bisa menyatukan dua frekuensi dan teknologi 4G LTE (FDD dan TDD). Smartfren sendiri menggelar layanan 4G di rentang frekuensi 850 MHz (mengalokasikan 5 MHz) dan 2.300 MHz (mengalokasikan 30 MHz).
"FDD (Frequency Division Duplexing) berjalan berdasarkan frekuensi. Jadi frekuensinya yang tetap untuk mengirim uplink dan downlink. Nah, TDD (Time Division Duplexing) itu berdasarkan waktu. Jadi dibedakan kapan dia mengirim uplink dan kapan dia mengirim downlink," Roberto menjelaskan.
Teknologi FDD LTE pun disebut bagus untuk urusan coverage, makanya FDD dipakai pada frekuensi rendah. Sementara TDD lebih oke jika berbicara terkait kapasitas. "Dia kombinasi untuk kapasitas data dan kecepatan," ujar Roberto.
"Nah, yang mengkombinasikan FDD dan TDD itu baru Smartfren di Indonesia. Jadi gabungan antara coverage dan speed. Kalau operator lain mereka baru deploy di 900 dan baru refarming di 1.800 MHz. Setelah refarming selesai di frekuensi 1.800 MHz, baru operator lain bisa mengoptimalkan carrier aggregation. Kita sudah deploy lebih baru," lanjutnya.
Adapun untuk tata ulang alokasi frekuensi 1.800 MHz dimulai di Maluku pada 4 Mei 2015 dan diperkirakan selesai di Jakarta pada 23 November mengingat ada 42 cluster yang harus dikerjakan dengan metode step wise alias kombinasi dari direct dan indirect.
Total lebar pita yang dipakai di 1.800 MHz mencapai 75 MHz. Komposisi saat ini adalah Telkomsel menguasai 22,5 MHz, Indosat 20 MHz, XL 22,5 MHz, dan Tri 10 MHz. Urutan penempatan kanal pasca tata ulang nantinya adalah XL, Tri, Indosat, Telkomsel.
Sementara Smartfren, seperti sudah disebutkan di atas, punya modal sangat besar dengan alokasi 30 MHz di frekuensi 2.300 MHz dan 850 MHz selebar 5 MHz (dari total 10 MHz) untuk 4G.
Meski demikian, Smartfren juga masih punya kendala dari sisi device pendukung carrier aggregation yang masih minim. Di segmen ponsel baru Galaxy Note 5 yang sudah siap, itu pun harganya tergolong premium.
Untuk itu, Smartfren bakal menggelontorkan perangkat Modem WiFi alias MiFi yang sudah support carrier aggregation untuk menarik minat pasar. Dimana salah satunya adalah dengan menggaet LG Innotek sebagai mitra manufaktur.
"Untuk perangkat yang support carrier aggregation kita juga tergantung dari penyedia chipset seperti Qualcomm, Marvel, ZTE, Huawei SIlicon dan lainnya. Kami pastinya melakukan testing di lab, tapi condong ke mana masih belum tahu. Kita juga gak bisa jual langsung, ada pertimbangan dari sisi TKDN, akan kita terus naikin," lanjutnya.
VoLTE cs
Dengan munculnya carrier aggregation otomatis layanan 4G bakal lebih kinclong lagi, terutama dari sisi kecepatan. Nah, hal ini juga menciptakan peluang terkait aplikasi atau layanan apa saja yang bisa digunakan.
Salah satunya adalah Voice over LTE (VoLTE) yang disebut Smartfren juga bakal dikembangkannya. Menurut Roberto, VoLTE adalah salah satu terbosan teknologi. Sebab jika voice itu ditaruh di data artinya dapat dikembangkan lebih lanjut dalam wujud Rich Communicatiom Services (RCS).
"RCS ini teknologi dimana pada saat kita komunikasi voice via data, kita bisa lakukan beragam hal. Kita sudah lihat di Korea Selatan, ada aplikasi namanya Uwa. Dimana saat video call bisa sharing foto, musik yang saya dengar secara real time. Termasuk bisa kasih point of view (hal yang dilihat) saya," kata Roberto.
"Ini aplikasi luar biasa, cuma memang kita butuh waktu untuk development, gak gampang. Dan VoLTE juga masih diuji coba oleh operator Amerika Serikat, Verizon dan LG Uplus juga salah satu yang implementasi di Korsel.
"Nah, kita mesti menunggu nih, karena teknologi itu tergantung network dan device, itu dua-duanya berkaitan. Jadi networknya support, device gak support itu gak bisa, karena VoLTE harus ngomong dengan VoLTE. Iya mesti pairing kalau mau RCS, baru sharing banyak hal bisa kejadian," ungkapnya.
Meski demikian, Roberto menilai yang namanya teknologi baru jangan lantas membuat latah perusahaan untuk buru-buru mengadopsinya. Waktu terbaik untuk ikut serta adalah saat teknologi itu sudah siap.
"Jadi kalau kita lihat, ini banyak teknologi baru. Dan yang harus kita perhatikan adalah kapan teknologi ini sudah ready untuk diadopsi oleh masyarakat kita. Itu trik yang harus dipunyai. Karena terlalu awal masih banyak bug (celah), mahal, bingung, dan akhirnya gak berkembang. Kira-kira itulah arahnya VoLTE yang akan menjadi andalan di layanan 4G," pungkas Roberto.
(ash/rou)