Mahkamah Agung diminta untuk melakukan uji materi terhadap aturan yang ada pada Peraturan Menkominfo No. 22 dan 23 tahun 2011. Gugatan ini didaftarkan oleh Institute of Community and Media Development (Incode).
Menurut Direktur Eksekutif Incode, Yudah Prakoso, peraturan tersebut tidak sesuai dengan UU No. 32 tentang penyiaran, UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan PP No. 50 tahun 2005 tentang TV swasta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peraturan Menkominfo No. 22/2011 berisi tentang penyelenggaraan penyiaran TV digital terestrial penerimaan tetap tidak berbayar. Sedangkan, untuk No. 23/2011 berisi tentang rencana induk frekuensi radio untuk keperluan TV siaran digital terestrial pada pita frekuensi radio 478-694 MHz.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo Gatot S Dewa Broto, telah menerima laporan tentang pengajuan gugatan yang dilayangkan melalui MA ini.
"Sah-sah saja kalau ada yang menggugat atau uji materi terhadap Permen kami terkait digitalisasi televisi. Itu hak mereka. Toh, bukan sekali ini saja digugat oleh pihak lain, karena dulu pun Permen tentang jasa premium juga pernah digugat ke MA oleh IMOCA," kata Gatot saat dikonfirmasi.
Meski demikian, ia menyanggah jika aturan tentang TV digital ini bermasalah. Menurutnya, dua peraturan menteri yang digugat ke MA itu sudah melalui uji publik pada Juli dan Agustus 2011 lalu
"Dan hingga saat ini, hasil uji publik tersebut masih bisa diakses di website Kominfo. Sangat pantang bagi Kominfo untuk melakukan silent operation," tegasnya.
Ia juga mengatakan, Menteri Kominfo Tifatul Sembiring sudah sampai lima kali memberikan paparan seleksi digital di Komisi I DPR RI. "Ketika mereka minta ditunda, kami pun taat menunda. Tetapi ketika tidak ada perintah penundaan pada hearing berikutnya, ya Kominfo mulai seleksinya."
Lalu, migrasi menuju era tv digital pun terus berjalan. Juni lalu Kominfo telah membuka pendaftaran untuk seleksi keanggotaan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM).
Perusahaan-perusahaan yang lolos ke tahap seleksi yang terdiri dari perusahaan TV swasta nasional seperti RCTI dan Trans TV serta dari TV lokal seperti Jawa Pos TV.
Menanggapi hal ini, Gatot menegaskan bahwa tidak benar kalau seleksi penyelenggaraan multipleksing ini tanpa dasar hukum.
"UU Penyiaran memang tidak secara explisit menyebut tentang digitalisasi. Tetapi itu disebut secara jelas di PP-nya. Jika PP-nya nggak nyebut, baru itu sah dianggap bolong dasar hukumnya," pungkasnya.
(rou/ash)