Guru Besar Unpad Ungkap Transfer Data Pribadi Antar Negara Hal yang Lumrah
Hide Ads

Guru Besar Unpad Ungkap Transfer Data Pribadi Antar Negara Hal yang Lumrah

Dea Duta Aulia - detikInet
Sabtu, 26 Jul 2025 12:49 WIB
Sama Seperti di Indonesia, Pencurian Data Pribadi Juga Terjadi di Australia
Foto: ABC Australia
Jakarta -

Guru Besar Hukum Digital dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Ahmad Ramli menilai transfer data antar negara merupakan hal yang lumrah terjadi. Menurutnya, fenomena tersebut tidak perlu dikhawatirkan, selama negara yang menerima transfer mampu melindungi data pribadi.

"Jadi yang pertama ya saya melihat bahwa transfer data ke luar negeri itu adalah hal yang lumrah. Bukan sesuatu yang harus menjadi kekhawatiran. Sepanjang negara yang kita transfer data itu memiliki kecukupan (terhadap) perlindungan data pribadi," kata Prof. Ramli kepada detikcom Sabtu (26/7/2025).

Oleh karena itu, dia menilai isu transfer data pribadi ke Amerika harus disikapi dengan objektif. Sebab dalam perjanjian transfer data tersebut, dia mengatakan Amerika menghargai hukum Indonesia terkait dengan perlindungan data pribadi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi saya melihat bahwa Amerika ini kan membuat factsheet ya. Factsheet itu istilahnya kayak lembar fakta yang dikeluarkan oleh Gedung Putih tentang kesepakatan dagang kita dengan mereka. Kemudian di salah satu butirnya dia menyebutkan bahwa Indonesia dan Amerika sepakat untuk menghapus hambatan perdagangan digital. Dan bentuk penghapusan hambatan itu antara lain adalah dengan mengakui Amerika sebagai negara yang memenuhi kecukupan perlindungan data sesuai hukum Indonesia," ungkapnya.

"Di sana itu dikatakan di factsheet-nya itu bahwa dengan mengakui Amerika sebagai negara yang memiliki perlindungan data memadai menurut hukum Indonesia. Nah jadi justru dia itu. Saya ingin melihat objektif ya. Bahwa pernyataan itu menghargai betul hukum Indonesia. Bahwa hukum Indonesia menganggap Amerika itu sebagai negara yang setara dengan kita atau lebih tinggi dalam melindungi data pribadi," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Tidak hanya itu, Prof. Ramli menilai isu transfer data pribadi ke AS bagian dari menjual data merupakan narasi yang menyesatkan. Sebab transfer data pribadi saat ini sudah banyak terjadi.

"Dan kalau kita mau jujur ini kan narasinya macam-macam nih. Seolah-olah kita akan mengalihkan jual data ke sana. Bukan begitu. Ini konteksnya adalah transfer data kasus per kasus. Jadi misalnya tidak berarti bahwa pusat data kita yang ada data pribadi seluruh rakyat itu diserahkan untuk dikelola mereka bukan itu konteksnya. Konteksnya adalah transfer data itu dilakukan ketika orang bertransaksi," tuturnya.

"Misalnya kita orang-orang Indonesia itu mempunyai akun di Facebook misalnya. otomatis kan data kita akan ditransfer ke Facebook. Nah kemudian ketika kita meng-install yang lain. mau menginstall WhatsApp atau YouTube kan kita bisa pakai Facebook atau pakai akun Google tinggal klik itu. Nah dari Facebook atau Google dia akan transfer ke platform lain. Nah itu kan namanya transfer data," sambungnya.

Dia juga menilai, transfer data pribadi antar negara bukan barang baru. Bahkan tanpa disadari fenomena tersebut sudah berlangsung lama.

"Nah karena mungkin yang satu bisa saja ada di luar Amerika platformnya. Kemudian disana ada platformnya otomatis kita akan mentransfer ke perusahaan yang ada di negara tertentu itu Jadi dengan demikian sebetulnya transfer data ini sudah berlangsung lama. Bukan barang baru," ungkapnya.

Prof. Ramli mengatakan jika mengacu Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) transfer data internasional atau lintas negara tidak dilarang. Selama negara yang menerima mampu melindungi dan memiliki hukum yang setara atau lebih tinggi dari Indonesia.

Khusus Amerika, Prof. Ramli menilai negara tersebut mampu memberikan perlindungan data pribadi. Sehingga data-data yang ditransfer tidak digunakan untuk hal-hal yang kurang bertanggung jawab.

"Jadi kalau data saya ada di Twitter, data saya ada di WhatsApp, data saya ada di Google akan dilindungi oleh hukum Amerika. Bahwa data saya ini nggak boleh disalahgunakan," tuturnya.

Dia mengatakan Amerika juga termasuk negara yang cukup keras jika menemukan perusahaan yang menggunakan data pribadi secara tidak bertanggung jawab.

Prof. Ramli mencontohkan kasus Twitter. Di mana Amerika menjatuhkan hukuman kepada Twitter karena menggunakan data pribadi penggunanya secara tidak bertanggung jawab.

"Saya contohin aja Amerika pernah mendenda Twitter loh. Dan dendanya nggak main-main. Dendanya gede itu US$ 150 juta. Twitter itu awalnya dia meminta data penggunanya dengan alasan untuk keamanan. Dia minta data untuk keamanan tapi Twitter kemudian menggunakan email atau apa itu untuk iklan bertarget dia disalahgunakan," jelasnya.

Meskipun begitu, dia mengatakan untuk lebih melindungi data pribadi turunan dari UU PDP harus segera dibuat. Prof. Ramli mengatakan saat ini, turunan dari UU tersebut belum dibuat. Padahal hal tersebut sangat dibutuhkan untuk lebih memberikan jaminan terhadap perlindungan data pribadi.

"Undang-undang PDP ini, PPnya (Peraturan pemerintah) belum dibikin, perpresnya (peraturan presiden) belum ada, lembaganya belum ada," ungkapnya.

Dia mengatakan kehadiran dari lembaga perlindungan data pribadi sangat dibutuhkan. Hal itu bertujuan supaya UU PDP bisa dijalankan dengan maksimal.

"Kemudian lembaganya harus segera ada yang paling penting lembaganya. Karena Undang-Undang ini hanya akan bisa berfungsi dan menjalankan tugasnya mengawasi, transfer data internasional, membuat pedoman, membuat panduan transfer data itu lembaga Itu kerjaan lembaga. Nah lembaganya belum ada," tutupnya.




(prf/ega)